5. Keputusan

12.6K 1.5K 21
                                    

Amanda orangnya pemaksa. Ya, itulah kata yang Olivia rasa cocok untuk mendeskripsikan sosok anak bosnya tersebut. Pasalnya, siang ini gadis itu memaksa Olivia untuk ikut makan siang bersama lagi.

Tak jadi masalah juga sebenarnya bagi Olivia untuk menerima ajakan Amanda. Tapi, dia merasa tak enak saja jadinya oleh bosnya sendiri. Ya, walau bosnya pun terlihat manut saja dengan perkataan Amanda.

Olivia sempat menolak karena tak mau mengganggu momen kebersamaan Amanda dengan Arga. Namun Amanda memohon dan agak memaksa agar Olivia ikut. Dan saat Arga yang bicara, memohon pada Olivia untuk mau mengikuti keinginan Amanda, Olivia pun tak mampu menolak.

Mereka baik sebenarnya. Baik sekali. Olivia bahkan ditraktir juga dan tidak diizinkan membayar apapun. Hanya saja, Olivia tetap merasa tak enak pada bosnya.

Sekarang, Olivia bersama Amanda dan Arga berada di sebuah restoran bintang lima. Amanda yang menentukan tempat makan, itu pun meminta rekomendasi pada Olivia, bukan pada ayahnya sendiri.

"Jadi, apakah Kak Oliv mau cerita tentang penyebab mata bengkak itu?" Amanda bertanya dengan tatapan penasaran. Mata Olivia memang sudah tidak bengkak lagi sekarang, namun Amanda tak akan lupa yang dia lihat pagi tadi.

"Biasa. Masalah keluarga," jawab Olivia. Dia merasa sungkan membahas masalah pribadinya di depan sang bos. Ya, walau Amanda juga yang memulai pembicaraan.

"Ah, begitu ya. Memiliki masalah dengan keluarga memang rasanya lebih sakit ketimbang bermasalah dengan orang lain. Kadang, kita merasa tak memiliki tempat bersandar jika keluarga sendiri yang menjadi masalah dalam hidup kita." Amanda berucap. Olivia mengerjap pelan lalu melirik pada Arga. Dia kemudian melihat bosnya yang menghela nafas panjang. Sepertinya, Amanda bukan hanya memahami keadaan Olivia. Tapi, seperti membicarakan keadaannya sendiri.

"Ya, seperti itulah. Pemikiran yang berbeda pada setiap individu membuat seringnya terjadi percekcokan," timpal Olivia. Amanda tertawa pelan mendengar itu.

"Jadi, Kak Oliv punya saudara?" Amanda bertanya lagi. Mereka sudah memesan makanan dan sedang menunggu pelayan mengantarkan makanan mereka.

"Aku punya satu adik perempuan. Dia seumuran denganmu," jawab Olivia. Mata Amanda langsung melebar mendengar itu, terlihat antusias.

"Benarkah? Boleh dong sesekali pertemukan kami. Mungkin kami bisa jadi dekat juga," ujar Amanda. Olivia tertawa kecil mendengar itu.

"Saat ada waktu nanti, aku usahakan." Olivia tak mau berjanji, karena takut tak bisa menepatinya. Lagi pula, untuk dekat-dekat ini rasanya dia tak akan bisa melakukannya. Karena Olivia paham, sekarang keadaan Dinda pun sedang kesulitan tentang rencana kelanjutan hubungannya.

Ah, memikirkan itu membuat Olivia merasa bersalah jadinya. Karena dia, Dinda tak diberikan izin untuk menikah dekat-dekat ini oleh orang tua mereka. Dan Olivia bingung harus melakukan apa agar orang tuanya yang keras kepala bisa berubah pikiran.

"Jadi, dia bagaimana sekarang? Kerja kah? Atau lanjut kuliah?" Amanda bertanya lagi, menanyakan sosok adik Olivia.

"Sebenarnya, dia ada rencana menikah dekat-dekat ini," jawab Olivia.

"Wah. Masih muda langsung menikah? Tak apa juga sih. Asal sudah bertemu orang yang tepat." Amanda berkomentar.

"Begitulah. Aku merasa bersalah karena menjadi penghalang baginya." Secara tak sadar, Olivia mengutarakan hal yang membebani hatinya. Dan perkataannya barusan bukan hanya menarik perhatian Amanda, tapi juga Arga.

"Penghalang?" Arga bertanya. Dia baru bersuara, karena sejak tadi memutuskan untuk mendengarkan percakapan dua perempuan di depannya tersebut.

Olivia terlihat kikuk untuk menjawab pertanyaan Arga. Namun Amanda menatap dia dengan sangat penasaran, menunggu jawaban.

"Orang tua kami memiliki kepercayaan tentang seorang adik yang tidak boleh menikah mendahului kakaknya. Jadi ya, situasinya agak rumit." Olivia menjelaskan. Arga manggut-manggut mendengar itu. Sejak dulu dia sudah sering mendengar hal yang seperti itu. Hanya tak menyangka di zaman sekarang masih ada juga yang percaya tentang mitos itu.

"Jadi kamu harus menikah lebih dulu agar adikmu bisa menikah. Begitu kan?" Arga menebak. Olivia tersenyum kecil dan mengangguk pelan.

"Gak adil deh. Kan nasib tiap orang itu beda," ujar Amanda dengan kening berkerut. Olivia hanya terkekeh mendengarnya.

"Pasti berat jadi Kak Oliv. Dianggap menjadi penghalang, padahal Kak Oliv tidak bersalah," lanjut Amanda. Olivia hanya tersenyum mendengar itu.

"Memang berat. Tapi aku yakin suatu hari nanti akan ada solusi yang baik." Olivia berkata dengan sangat yakin. Amanda tersenyum dan mengangkat tangannya, memberikan semangat pada Olivia. Olivia tertawa pelan dan tak lupa berterima kasih karena Amanda mau mendengarkan sedikit ceritanya. Setidaknya, hatinya sedikit merasa lega karena bisa bercerita pada seseorang.

***

Olivia masuk ke dalam ruangan Arga dengan sebuah berkas di tangannya. Dia berjalan menghampiri Arga dan menyerahkan berkas yang dia bawa pada bosnya tersebut untuk dibubuhkan tanda tangan.

"Olivia, kamu baik-baik saja kan?" Arga bertanya tanpa menatap ke arah Olivia. Tangannya bergerak membubuhkan tanda tangan di atas berkas yang Olivia serahkan barusan.

"Saya baik-baik saja, Pak." Olivia menjawab dengan sopan. Arga tersenyum kecil mendengar itu.

"Duduklah dulu. Saya ingin bicara sesuatu denganmu," ucap Arga. Olivia kebingungan, namun tak banyak bertanya dan langsung duduk di hadapan Arga.

"Kamu sudah bekerja cukup lama sebagai sekretaris saya, jadi mungkin kamu tahu sedikit tentang keluarga saya. Tapi sepertinya kamu baru tahu lebih lengkapnya setelah Amanda bercerita." Arga berucap. Olivia mengangguk pelan. Dia mengira kalau dua anak Arga yang selalu datang adalah anak kandung. Ternyata, hanya sebatas anak tiri.

"Ada masalah beberapa tahun dalam keluarga saya, hingga Amanda terpaksa dikirim ke Singapura untuk tinggal di sana. Dan setelah sekian lama, saya sangat senang karena bisa bertemu dengannya lagi. Kamu pasti tahu bagaimana rasa bahagia karena bisa bertemu dengan sosok yang dirindukan," ujar Arga. Olivia belum pernah berada dalam posisi Arga maupun Amanda, namun dia bisa paham perasaan itu.

"Amanda membenci saya. Saya tahu. Saya sudah membuat banyak kesalahan padanya. Dan melihat dia akrab denganmu, saya sangat senang, Olivia. Jadi saya minta, jangan menahan diri ketika bersamanya." Arga berucap.

"Saya harap, kamu bisa menjadi teman yang baik untuknya. Saya lihat juga kalian memiliki kecocokan ketika saling bercerita. Dan saya minta, tolong bantu Amanda dalam setiap hal ketika dia butuh bantuan. Jangan terlalu memikirkan masalah pekerjaan."

Olivia mengerjap pelan mendengar itu, merasa bingung dengan maksud ucapan Arga. Jelas-jelas keberadaan dia di sana untuk sebuah pekerjaan yang sudah lama dia geluti.

"Saya akan mencari sekretaris baru untuk membantumu. Jadi ketika Amanda membutuhkan kamu, ada orang yang bisa mengambil alih pekerjaan dan kamu tak akan kerepotan. Tenang saja, saya akan naikkan gajimu. Asal kamu bisa menemani anak saya."

Arga mengatakan itu semua tanpa ragu, seolah sudah memikirkannya dengan matang. Melihat Amanda yang bisa sangat terbuka pada Olivia, membuat Arga berpikir mungkin Olivia bisa menjadi salah satu orang yang bisa dia andalkan untuk membantunya memperbaiki hubungan dengan anak gadisnya.

"Jadi, maksud Anda, saya harus lebih fokus pada Amanda?" tanya Olivia dengan hati-hati. Arga pun menganggukkan kepalanya.

"Iya. Besok dia harus mendaftar kuliah, dan saya ingin kamu menemaninya." Arga menjawab. Olivia terdiam beberapa saat mendengar itu. Bisakah dia menolak? Sepertinya tidak.

"Baiklah. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Amanda, Pak." Olivia akhirnya menerima keputusan tersebut. Tak masalah, yang penting dia tak kehilangan pekerjaan. Bonus, gajinya juga akan dinaikkan.

_____________________________________

Hai semuanya. Update ketiga untuk hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya🥰🥰🥰

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang