Part 1. Sadulur

182 27 49
                                    

Senja hampir saja menghilang
Langit akan berganti kelam
Aku duduk dengan tenang
Menikmati irama syahdu sang alam

Aku adalah pria tampan
Yang berkelana di bumi Priangan
Bersama piaraanku Jean
Aku tak menyangka kalau di tempat ini tidak aman
Karena ada dua siluman bekantan
Yang mengaku dirinya tampan

Plak

"Setan!" pekik Naufal memaki, ketika sandal jepit Randi tepat mengenai kepalanya. Randi sudah jengah karena mendengar lelaki berkulit putih mulus itu tiba-tiba melantunkan puisi konyolnya.

Naufal mengaduh kesakitan, kakinya dengan cepat menendang sandal jepit usang, yang menjadi senjata pamungkas Randi ketika dia kesal, menajuh dari hadapannya.

"Mampus," ledek Haldis menjulurkan lidahnya ke arah Naufal. Sementara Randi sudah memakai kembali sandal jepit yang sempat Naufal tendang ke dekat tong sampah yang ada di rooftop kosan mereka, karena saat ini ke empat pemuda tampan itu sedang menikmati sunset kota Bandung dari atas sana.

Tadinya lahan terbuka di atas kosan ini di pakai untuk menjemur pakaian, tetapi berhubung ke empat lelaki ini lebih suka menggunakan jasa laundry, mereka menyulapnya menjadi tempat tongkrongan untuk berkumpul dan beristirahat dikala, melepas penat setelah seharian berkutat dengan kegiatan kampusnya, bahkan keempatnya patungan untuk membeli kanopi, agar tempat itu tidak terkena panas dan hujan.

"Udah deh Na, kata aing, maneh stop buat puisi, lebih baik waktunya, pake buat dzikir. Inget Na, dosa maneh lebih banyak di banding jumlah kosakata di kamus bahasa Indonesia punya maneh." Haldis lanjut meledek Naufal yang kini ikut duduk di sofa bekas pemilik kosan, yang sudah tidak terpakai lagi.

"Jangan atur gue! Siapa lu? sokap banget." Naufal mencibirkan bibir bawahnya dengan lubang hidung di buat merekah, dan mata melotot.

"Idih, ganteng maneh kaya gitu?!" Haldis bergidik geli.

"Makasih, Monyet buat pujiannya," ucap Naufal dengan wajah masih meledek Haldis.

"Aing ga lagi muji, ya!" Haldis dengan geram memasukan jarinya ke lubang hidung Naufal, tak lama dia hendak memasukan kedua jari tadi ke mulut Naufal, membuat lelaki itu berteriak panik, dan menangkis tangan Haldis yang sesekali masih mencoba aksinya.

"Berisik lu berdua, bikin pemandangan indah di depan jadi rusak," protes Jeano, membuat ketiga orang itu menatap pandangan yang di maksud oleh Jeano, dari arah seberang sana, terlihat seorang wanita yang tengah mengambil jemurannya di lantai atas. Rooftop kosannya, dengan tempat menjemur baju di rumah gadis itu memang berhadapan, dan yang sedang mengambil jemuran itu, Zeannisa Faatina Khayira atau sering mereka panggil teh Zea, anak kedua dari pemilik rumah yang di jadi kan kosan oleh mereka berempat.

Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, selalu menarik perhatian keempat pemuda ini, karena selain wajahnya yang cantik, Zea juga memiliki tubuh yang tinggi semampai, membuat lelaki mana pun akan berdecak kagum kepadanya.

Hanya saja mereka tidak akan berani macam-macam, karena Zea merupakan pemegang sabuk hitam pencak silat. Belum lagi Zea memiliki seorang adik laki-laki tengil, bahkan menyaingi Haldis, yang saat masih duduk di bangku SMA.

"Tutup mata maraneh, itu gebetan aing, ya!" protes Haldis, tak suka kalau ke tiga sahabatnya ikut memperhatikan penampilan Zea.

SadulurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang