Part 4. Tak tahu terima kasih

67 6 3
                                    

Keempat pria berkumpul di gedung serbaguna , mereka berpakaian lengkap dengan almamater tosca yang di kenakan, menambah keeleganan mereka, terlebih untuk Haldis dan Randi yang gayanya selalu selengean.

Haldis yang sehari-harinya selalu memakai celana jeans sobek-sobek, sedangkan Randi sendiri memiliki gaya rambut yang di cat two tone dengan panjang hampir menyentuh bahu, nampak lebih rapi dari biasanya. Coba saja bayangkan kalau gaya mereka berdua ini tidak di sertai wajah yang tampan, mungkin saja mereka dapat predikat jamet Neokom saat ini. Tapi itu tidak penting, karena satu di antara mereka berempat, sekarang tengah menekuk wajahnya sebal.
Keempat pemuda itu baru saja selesai rapat dengan ketua BEM, mewakili HIMA di jurusannya masing-masing.

"Kenapa maneh, dari tadi manyun aja kaya anak TK yang ga di jemput emaknya?" tegur Randi menyikut pinggang Naufal.

"Lagi dapet kali Ran," celetuk Haldis anteng memainkan kuku tangannya.

"Sembarangan lu! Gue lagi gedeg banget, hampir aja gue telat rapat, gara-gara gadis tengil yang tadi hampir bikin nyawa gue melayang," gerutu Naufal setelah memukul lengan Haldis yang duduk di depannya

"Anak mana sih?" Jeano buka suara, tubuhnya di geser sehingga menghadap Naufal.

"Kagak tahu gue, baru lihat. Anaknya sih cakep sumpah, cuma baru kali ini gue ga mandang seorang cewek layaknya cewek. Pengen tak heh!" Naufal meremas kedua tangannya gemas.

"Alah nanti juga maneh bakalan naksir, ciri-cirinya gimana Na? biar aing cari," tanya Haldis penasaran.
Naufal mengernyitkan dahinya, mengingat kembali ciri fisik dari wanita yang sedang mereka obrolkan ini.

"Hmm, rambutnya sedada, terus pake baju serba item, jaket bomber kegedean, makanya gue ngira cowok soalnya ga keliatan tonjolannya," kekeh Naufal, yang otomatis dapat pukulan di kepalanya oleh kertas yang sedari tadi di gulung Jeano.

"Serius gue,Sat! Terus kayaknya sih, cuma dia satu-satunya cewek yang pake motor sport di kampus, motor sport item." Naufal melanjutkan penjelasannya setelah terpotong.

Haldis berdiri dari duduknya. "Aing tahu! Dari ciri-cirinya, itu si Cia. Patricia Yurike, mahasiswa baru jurusan Komunikasi, maraneh ga akan kenal, soalnya pas Ospek dia ga ikut, anaknya sakit-sakitan katanya sih. Dia emang songong, tapi aing rasa itu cara dia buat nutup diri."

"Oh iya, gue juga sempet denger, tiap malam minggu dia suka ikutan balapan liar di Surapati." Jeano menimpali.

"Sakit-sakitan apa? Mukanya beringas gitu," sinis Naufal.

"Udahlah ga usah di bahas, maneh juga ga jadi mati kan?"

"Tapi gue lecet-lecet ya, Ran! Lu jangan anggap remeh luka yang gue dapat, bisa-bisa ketampanan gue berkurang," protes Naufal.

"Sesuka maneh aja lah, gue cape!" dengus Randi.

"Anjing, homo! Lu sejak kapan suka sama gue?" Naufal menangkup badannya dengan kedua tangan.

Randi memutar bola matanya malas, sementara Jeano hanya memamerkan eye smilenya saja mendengar obrolan ini.

"Bubar, Aing ga mau ketularan gilanya si Nana!" seru Haldis sambil melengos, di ikuti Randi dan Jeano yang meninggalkan Naufal sendiri.

"Emang salah gue temenan sama manusia jelmaan setan kaya mereka," dengus Naufal geleng-geleng kepala.

__

"Teh Zia." Haldis memanggil perempuan yang kini berjalan di depanya.
Zia yang saat itu masih menggunakan baju kerjanya pun menoleh ke arah suara.

Dia tersenyum. "Eh Al, dari mana?" tanyanya.

SadulurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang