O2

1.2K 114 3
                                    

Haechan melompat keluar dari pintu mobil setelah tiba di pekarangan rumahnya. Ia langsung mendorong pintu rumah megahnya secara kasar hingga terdengar suara yang cukup memekikkan telinga.

Setibanya di ruang tengah, ia melihat Ayahnya yang sedang bercengkerama dengan orang tak dikenal.

"Ayah nggak kerja?"

"Bisa nggak sih Ayah minta? Kalo buka pintu itu pelan-pelan aja, kemaren pintunya agak retak baru ayah ganti itu."

Haechan merotasikan bola matanya malas, sama sekali tak mengindahkan perkataan Ayahnya dan lebih memilih naik ke lantai atas menuju kamarnya.

"Dia …"

"Yaa … Lee Haechan, entah menurun ke siapa sifatnya itu. Tapi yang terpenting saya sudah menjelaskan semuanya tadi, intinya jangan sampai kejadian enam tahun lalu yang barusan saya ceritakan terulang kembali. Terlebih lagi tiga hari lagi saya akan ke California, saya benar-benar mempercayakannya pada kalian bertiga."

"Sebelumnya saya meminta atas nama kedua rekan saya yang tidak bisa datang, tapi kami akan berusaha semampu kami." Pemuda berwajah bak anime itu menyahut dengan penuh keyakinan, sementara Tuan Lee mengangguk mengiyakan sembari memikirkan sesuatu.

"Haechan juga punya asma jangan lupakan itu, akhir-akhir ini agak sering kambuh tanpa sebab. Apa terjadi hal yang nggak di ceritain ke saya ya, dia pun nggak terlalu dekat dengan Kakaknya."

"Mungkin faktor stress? Remaja seusia Tuan Muda Haechan biasanya lebih sering mengalami hal itu apalagi di tingkat sekolahnya yang sekarang."

"Stress? Saya jamin kamu yang bakal stress bukan Haechan."

Tuan Lee menggelengkan kepalanya, hingga saat ini rasa pusing masih mendera kepalanya akibat kelakuan putra bungsunya yang kadang di luar nalar. Apalagi setelah di hubungi langsung oleh pihak sekolah yang salah satu gurunya adalah rekannya dulu mengabarkan Haechan membuat ulah.

"Putra sulung saya juga agak kaku, tapi nggak perlu khawatir, dia akan banyak bicara dengan orang yang membuatnya nyaman." Tuan Lee berdiri di susul oleh pemuda itu.

"Baik, terimakasih telah mempercayai saya dan rekan saya Tuan Lee." Pria paruh baya dan seorang pemuda itu saling menjabat tangan, sebelum akhirnya pemuda itu melangkah pergi.

"Woi-Woi gua dikeroyok, bantuin dong monyet #####**"

"Ya kan mati! Punya tim nggak peka amat dah, ish!"

"Musuh juga cupu amat, beraninya keroyokan, habis lo nanti gua bantai udah level max nih gua hhahaha."

Haechan berbaring di atas kasurnya masih mengenakan seragamnya, jari tangannya dan arah matanya fokus pada layar ponselnya sampai tak menyadari Ayahnya datang.

"Jangan main game terus, jangan deket-deket juga nanti matanya iritasi."

Tuan Lee duduk di tepi kasur memperhatikan anaknya yang sama sekali tak mendengarkannya.

"Kan! Kena lu kena lu! Triple Kill nggak tuh."

"Tiga hari lagi Ayah ke California."

Kalimat singkat dari Tuan Lee sukses membuat Haechan menjatuhkan ponselnya asal. Ia merubah posisinya menjadi duduk sembari menatap Ayahnya dengan mata melotot.

"Tiga hari?! Ayah kok nggak ada bilang apa-apa?"

"Ini udah bilang."

"Maksudnya dari kemarin-kemarin Ayah!"

"Hm … Ayah juga bakal lama kayaknya disana, mungkin 3 bulan? Bisa lebih juga."

"Ayah mau minggat ya?"

Three BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang