CHAPTER 1 | Rindu dan Cinta Sedang Berpelukan
Jalanan Jakarta hari ini cukup lenggang, mobil dan motor mulai melaju begitu lancang. Disini—didalam mobil—lelaki berumuran dewasa sedang mengarahkan stirnya untuk mengikuti alur jalan menuju tempat favoritnya beberapa hari ini. Bulu-bulu halus disekitar wajahnya mulai berlahan tumbuh subur, asupan makan mereka terlampau sangat cukup rupanya, dan sekarang kulitnya terlihat kusam kering. Bisa dikata dia sangat lelah—lebih tepatnya lelah mengurus dirinya yang tak berarti ini.
Dilihatnya terdapat lowongan parkir kosong didepannya, segera dia memarkirkan mobilnya disana. Lelaki itu turun dari jok kemudi dengan gaya khasnya, kemeja dan celana hitam pekat berkain katun membalut tubuhnya.
"Selamat datang di Café kami." Sapaan para karyawan yang diajukan kepadanya hanya ia anggap angin lalu. Malas dengan perkataan yang setiap hari menjadi makanan pendengarannya.
Segera lelaki tadi melangkah kembali, ia memilih tempat dipojok paling ujung di banding dengan bangku-bangku lainnya, disertai kaca besar bening yang menampikan sebuah gambaran tentang alam yang menari disana. Mereka seakan saling bercerita tentang perasaannya yang menekan didalam dirinya.
Kini lelaki itu sedang merenung, memikirkan kebodohannya yang teramat sangat. Dulu hidupnya tidak seburuk sekarang, hidupnya begitu indah, dikelilingi cinta yang lembut, dan perjalanan yang penuh warna.
Berlahan suara seorang yang ia impikan untuk selalu ada didalam hidupnya muncul terdengar, saat dia mencari letak suara itu, semua seakan menyiksa dirinya kembali. Dia selalu ingat saat-saat mereka melewati hari panjang dengan keadaan menyenangkan, dan waktu yang lama dengan keadaan menyiksa.
"Kenapa awan itu biru kalau digambaran, padahal aslinya putih?" lelaki itu bersuara. Salah satu tangannya memeluk bahu perempuan yang ada disampingnya.
"Pandangan orang 'kan beda-beda, kita gak bisa maksa juga." Tidak mau kalah, perempuan itu terus membuat lelaki yang berasa disampingnya menyerah atas apa yang ia tanyakan selanjutnya.
Lelaki tadi yang mendengar tertawa, seulas bunga terbang memenuhi rongga hatinya yang kosong. "Ada hubungannya juga dengan cinta." Sejenak berhenti, memutar tubuh saling berhadapan. "Kalau kata orang cinta itu hanya urusan hati, padahal cinta juga urusan apapun yang dapat merasakan hadirnya cinta. Bahkan saat kita bahagia karena cinta 'pun, dunia seakan berbicara 'hai, kau berhasil menakhlukan apa yang kau inginkan'" perempuan tadi mengeriyit, tidak cukup paham. "Itu yang namanya perbedaan pendapat namun saling berhubungan."
Tatapan mata mereka terus saling berbicara. Dari sekian banyak cerita yang akan mereka utarakan, pada intinya mereka hanya sedang menceritakan, bagaimana bahagianya mereka, dan bagaimana perasaan mereka.
"Aku suka kamu kayak gini, jangan berubah, dan jangan pergi. Tinggal disini, selamanya."
Tubuh mereka saling terbentur. Ada kenyamanan menyeruak dalam jiwa mereka. Rupanya, hidup itu sederhana, tidak serumit apa yang orang lain kata.
Bagaimana? Cukup berdamailah dengan perasaan dan jiwa.
"Maaf, Bapak ingin pesan apa?"
Terhenyak. Lelaki itu tersentak cepat. ia memaksa tubuhnya untuk pulih secepatnya—padahal ia membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkan, biasanya.
Tangannya mengusap tengkuknya lembut. "Coffe Latte original aja, Mbak."
Perempuan tadi tersenyum. Ia mengucapkan kata sopan untuk memberi perintah menunggu kepada lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces Of Love
RomanceAku hanya butuh satu jawaban atas satu pertanyaan: "Bagaimana cara merelakan tanpa harus melepaskan?" * * * Sekarang aku harus melepaskan dia untuk seorang yang sudah selalu menemaniku sejak dalam Rahim ibu kami. Bahkan sekarang aku harus rela memba...