Chapter 4 | Menyendiri
Di sana, di dalam jiwa Rara, terdapat gumpalan perasaan yang enggan Rara pecahkan sendiri. Dia memang masih menginginkan semua kembali seperti sedia kala, namun sekarang sudah bukan waktunya mengharapkan sesuatu yang pergi tak dapat tergapai lagi. Dirinya harus mengetahui satu hal, bahwa apapun yang hilang, akan tetap hilang. Walaupun nantinya kembali, maka itu tidak lagi sama.
Film The Notebook terdapat kenangan manis di sana, film tersebut menghantarkan kenangan manis Rara bersama seorang lelaki yang sekarang berputar di kepalanya. Dulu sebelum dirinya harus berpisah, film tersebut adalah sajian kencan mereka yang pertama. Walaupun masing-masing dari mereka sudah hafal dengan jalan cerita film tersebut, mereka tetap bersi keras melanjutkan tontonan tersebut hingga selesai.
Tanpa ia sadari, perempuan dewasa yang sejak tadi berada di ruang hotel miliknya, menatap dirinya dengan tatapan ketidak mengertian. Di sisi lain, ia ingin menyalahkan Rara karena dengan gampangnya menyerah, di sisi lain lagi ia ingin menyalahkan Daniel karena dirinya yang memulai permasalahan ini datang, dan di sisi lain lagi ia ingin menyalahkan Rere, tapi jikalau Berlin berada di posisi Rere, ia pasti sudah tidak tahu harus menempuh jalan apa lagi.
"Rara, you have dream, baby. Run away." Berlin mendekati tubuh Rara yang sedang lemah di sofa tempatnya melihat film tadi. "You can't live your life for other people. You've got to do what's right for you, even if it hurts some people you love."
Kalimat cuplikan quote di The Notebook yang disampaikan Berlin tersebut berhasil membuat tubuh Rara menyerah, ia tidak lagi bisa kuat menahan air mata yang terpendam. Tumpahan bulir air mata tersebut membuat sedikit hatinya kokoh kembali, namun jiwanya tetap tak ada daya.
"Gue nyerah, Ber. Gue enggak tahu harus melakukan apa lagi setelah ini, ini terlalu berat."
Berlin mencoba menjangkau tubuh lemah sahabatnya, lalu memeluknya dengan erat, mencoba menyalurkan semangat yang cukup untuk dirinya.
"If you never try, you will never know."
"Apa yang harus gue coba? Damai sama dia? Damai sama keadaan ini? Sulit, Ber, sulit banget."
"Lo belum nyoba, dan lo gak bisa nyimpulin gitu aja."
Sejauh waktu kalian lari dalam masalah, hal tersebut tidak dapat membuat masalah mu lari. Makin kau menjauh, semakin pula masalah itu mendekat. This problem is make you strong, never give up, because you have dream for life.
***
Semalam ini pikiran Rara sedang berjalan kesana kemari, ini sudah dua jam setelah Berlin terlelap di sampingnya, dan dirinya hanya dapat diam membisu, memandang gemerlap lampu yang menerangi kamar luas milik hotel ini. Hari ini, banyak pelajaran yang ia dapat dari Berlin.
Dirinya yang memiliki sikap jarang bisa membaur cepat dengan lingkungan baru, sekarang ia dapat terbuka dengan sahabat lamanya. Walaupun begitu, sahabatnya tersebut bukan dirinya, yang mengerti seluruh isi hati ia. Sahabatnya hanya sosok yang di takdirkan sebagai pelindung maupun menyimpan rahasia.
Masalahnya dengan Daniel ataupun Rere, ia anggap itu adalah bentuk pendewasaannya di umur dua puluh dua menuju dua puluh tiga. Dulu, lelaki yang sekarang menjadi suami kakaknya, pernah menjanjikan sesuatu. Ia ingat sekali, tempat halte busway saat hujan mendadak deras, mereka berhenti untuk sekedar menyelamatkan diri dari guyuran hujan deras.
"Ra, maaf ya akunya bawa motor jadi kena hujan gini," sahut Daniel sedikit merasa bersalah, lalu di ikuti anggukan manis Rara.
"Enggak masalah. Jarangkan kita malam mingguan pakai motor, terus kejebak di halte lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi sih, Dan."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces Of Love
RomanceAku hanya butuh satu jawaban atas satu pertanyaan: "Bagaimana cara merelakan tanpa harus melepaskan?" * * * Sekarang aku harus melepaskan dia untuk seorang yang sudah selalu menemaniku sejak dalam Rahim ibu kami. Bahkan sekarang aku harus rela memba...