CHAPTER 2 | Tentang Karang untuk Dipecahkan
Dengan sabar dan setia ia menunggu, menanti walau sungguh rasanya ingin membunuh segala hal yang hidup.
Menurut semua orang, hal seperti ini terasa tidak harus dipertahankan. Namun, sayang baginya itu semua berbeda. Dia beranggapan jika dirinya kuat, jika hatinya tegar, dan hidupnya adalah baja. Baginya pula, semua ini adalah ujian awal, bukan ujian pendinginan.
Hanya menunggu dan menunggu, dimana tingkat kesusahannya?
Tanpa sadar, suara pintu sudah sejak tadi bersuara, menandakan ada seorang yang sedang mengetuk pintu tersebut. Dengan gerakan cepat, dia berdiri, menghampiri pintu lalu membukakannya berlahan.
Tatapan mereka seketika bertemu. Tidak ada suara memang, hanya kesenyapan diantara mereka yang sedang berjalan.
Tatapan mereka seakan kosong, tak berupa warna ataupun cerita.
"Hmm... aku pulang." Itu suara pertama yang muncul setelah keheningan beberapa saat.
Senyuman Rere mengembang. Tidak sia-sia bukan penantiannya yang lama ini?
Badan Rere menyingkir, memberi jalan untuk Daniel.
"Terimakasih," kata Daniel setelah itu berjalan mendahului Rere tanpa memberikan senyum atau tatapan. Dia berjalan meninggalkan Rere untuk menuju kamarnya—kamar Daniel bukan Rere.
Sudah biasa untukmu, bukan? Lalu buat apa menyesali semua yang sudah terjadi? Itu perkataan batinnya yang sudah selalu ia rintihkan setiap saat.
Saat kesadarannya berangsur muncul, dia segera menutup pintu tersebut, lalu berlajan menuju dapur untuk menyiapkan keperluan makan malam bersama Daniel. Baginya menyiapkan makanan adalah salah satu kewajiban wanita untuk menjaga bahtera rumah tangga. Tidak berpikir kondisi hati mereka yang sedang bergemuruh, yang terpenting perempuan siap selalu melayani apapun yang di minta pihak yang sah baginya.
Untuk masalah di terima atau tidak, itu urusan paling belakang. Yang terpenting kamu mampu berani berjuang, karena seorang yang berani berjuang sendiri adalah seorang yang akan menang dikemudian hari.
Tepat pukul tujuh malam makanan sudah tersaji dimeja makan. Rere mencoba menunggu duduk di depan makanan yang sudah terjadi tersebut. Beberapa menit kemudia memang tidak ada tanda-tanda yang menarik perhatiannya untuk tersenyum, sesekali pula matanya memincing ke arah tangga turun menuju ruang makan dari lantai atas—tempat Daniel dan Rere tidur—sayang semua tetap sama, tak ada tanda-tanda jejak yang hidup.
Saat dia ingin berdiri mengambil segelas air, suara ponsel berbunyi nyaring menghentikan aktifitasnya sejenak, segera ia berjalan menghampiri benda tersebut. Sedetik saat matanya menatap ponselnya, dia sempat terperanjat. Pasalnya, sudah hampir satu bulan penuh dirinya sudah tidak pernah berkomunikasi dengan pemilik nama tersebut. Seketika juga dia tersenyum manis, jemarinya segera menggeser layar untuk menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Kak..." sapanya seperti biasa, selalu lembut, dan penuh penekanan perkatanya.
Rere menghembuskan nafasnya pelan. "Hallo, Ra. Bagaimana kabar mu?"
Beberapa detik selanjutnya tidak ada jawaban dari sebrang sana. Entahlah, adiknya tersebut sedang apa dan berada di mana. Mungkin bekerja? Bekerja apa?
"Rara, kamu masih di sana?" Rere berusaha berjiwa biasa saja.
"Ya...ya..." Rara menjawab terbata-bata. "Maksud ku, aku baik selalu, Kak. Bagaimana dengan kakak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces Of Love
RomanceAku hanya butuh satu jawaban atas satu pertanyaan: "Bagaimana cara merelakan tanpa harus melepaskan?" * * * Sekarang aku harus melepaskan dia untuk seorang yang sudah selalu menemaniku sejak dalam Rahim ibu kami. Bahkan sekarang aku harus rela memba...