PP-5

1.2K 258 27
                                        

 "Ini berkas----"

"Singkirkan itu dari hadapanku," kata pak Mahmud mengibaskan tangan pada putranya.

"Ayah.." Rumi tidak bisa meninggikan suaranya di hadapan ayah, ia sudah terlalu kesal setelah tiga hari didiamkan orang tuanya.

"Keluar," usirnya saat Rumi masih berdiri di depan meja kerjanya.

"Aku sudah menunda meeting penting, sekarang alasan apalagi---"

"Kamu memintaku peduli saat kamu sendiri berani mengabaikan perintahku?" sela beliau menyindir anaknya. "Aku anggap kamu sudah hebat, bisa menelantarkan istrimu bukankah harusnya kamu bisa mengurus hal yang tidak lebih penting dari seorang istri?"

Apa? Rumi tidak percaya ayahnya meletakkan harga diri Amala begitu tinggi.

"Aku tidak menelantarkannya." Rumi membela diri, ia punya alasan tidak melanjutkan perjalanan dengan wanita itu. 

"Saat menjadi orang kepercayaanku, aku menjaganya dengan baik. Harusnya aku bisa tenang telah menikahkannya dengan keturunanku."

Rahang Rumi mengeras.

"Bahkan saat bersamaku Amala tidak pernah menyentuh pintu mobil. Tapi denganmu?" pak Mahmud kecewa. "Dia menjadi sopir, kamu bangga untuk itu?"

Rumi terdiam, jika ayahnya sudah berbicara maka tak ada kesempatan baginya menyuarakan isi hati atau kepalanya.

"Kamu merasa hebat, kenapa? Karena keturunanku?" pak Mahmud mulai menguliti putranya. "Bahkan aku tidak merasa hebat atau bangga karena tahu ini hanya titipan, lantas kenapa kamu melangitkan diri seolah yakin pada akhirnya tak akan kembali ke bumi?"

Ini sudah keterlaluan. Karena Amala ayah menghinanya. Namun apa yang bisa dilakukan Rumi?

"Merasa kastamu paling tinggi? Hallo anakku, usiamu bukan remaja lagi. Aku bisa menendangmu keluar dari keturunanku!"

Kedua tangan Rumi mengepal.

"Kamu tidak berhak marah, aku membayar tunai apa yang telah kamu lakukan pada Amala!"

"Karena dia Ayah menghinaku?"

"Kamu merasa terhina?" pak Mahmud menatap tajam putranya. "Merasa ku-bedakan?"

Mata Rumi memerah, namun tubuhnya tak gentar saat ayahnya bangun dan berjalan ke arahnya.

"Entah bagaimana anggapanmu untuk Amala, yang jelas anggapanmu tak akan memenangkan langkahmu. Ingat itu."

Rumi tidak tahan lagi, pikirannya semrawut ia marah pada wanita yang dipaksa dijadikan istrinya. Dia marah pada semua orang.

"Ayah jatuh cinta padanya?"

Anak kurang ajar! "Plak!"

Menyakitkan sekali tapi yang lebih sakit hatinya. Seumur hidup ini pertama kali dia ditampar oleh ayah kandungnya dan itu karena Amala. Rumi meraba pipinya, sudut bibirnya berdarah.

"Sangkaku selama ini sudah benar mendidikmu, kalau sudah merasa hebat keluar dari rumahku, tinggalkan perasaanku, tinggalkan semua milikku!"

"Ayah mengancamku?"

Ketukan pintu tak didengar oleh dua orang itu, Amala masuk tanpa menduga keadaan di ruangan pak Mahmud. Ia langsung bicara saking paniknya, tak sempat memperhatikan raut ayah dan anak tersebut.

"Ada panggilan darurat. Kepala staf Locco tak bisa menghadiri agenda di Turki." Amala menyerahkan ponselnya pada pak Mahmud.

Air mata pak Mahmud keluar bukan karena menyesal telah menampar putranya, tapi pada kesetiaan dan kegigihan juga tanggung jawab Amala.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PEMERAN PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang