PP-2

1.5K 313 25
                                        

 Rumi Jauhari Syah, pria dewasa berusia 31 tahun terkenal angkuh di perusahaan juga lingkungan pertemanannya. Jangan heran bila pria itu tidak memiliki teman, hanya ada seorang gadis yang dipacari lebih dari 5 tahun. Manda Kalila, nama gadis yang berhasil dijadikan tunangan satu tahun yang lalu. Harusnya sekarang gadis itu yang duduk di sampingnya bukan wanita murahan pilihan ayahnya andai Manda tidak pergi di hari pernikahan mereka.

Tidak ada yang melupakan aib yang dibuat Manda pada keluarga besar Mahmud Syah, gadis itu sudah mempermalukan mereka dan tidak ada yang bertanggung jawab untuk memulihkan nama baik keluarganya. Tapi Rumi masih membelanya, dia yakin terjadi sesuatu pada Manda yang jaga di situ tidak bisa hadir di hari pernikahan mereka.

Makan malam baru saja selesai, Rumi berhasil menjadikan Amala sebagai pusat perhatian keluarganya. Walaupun sesaat, tatapan penuh arti kedua putri dan menantu Mahmud cukup membuat Amala malu. 

"Kalian akan melihat Amala membawa piring kotor itu ke dapur?" suara Mahmud terdengar tidak enak di telinga kedua putrinya, dengan terpaksa mereka bangun dan membantu Amala juga bibik. 

Amala yang mendengar suara ayah mertuanya merasa tidak enak pada Radhifa dan Ruheli.

"Tidak perlu meminta maaf," tegur Radhifa dengan hati-hati. "Kami memang harus belajar banyak darimu."

Tapi Amala tetap meminta maaf. Tidak ada yang salah dari sikapnya, ia masih seperti dulu suka membantu jika memang ada yang perlu dibantu. Tidak menempatkan diri sebagai menantu, yang menikmati jasa pembantu di rumah itu. 

Di ruang makan Mahmud masih marah pada putra sulungnya, sakit apa yang diderita oleh laki-laki itu hingga tidak bisa turun untuk makan malam bersama? Kemarahannya meledak saat terdengar suara pecahan piring dari dapur.

Mahra tak berani bangun mendapati tatapan suaminya, ia masih di tempat ketika Mahmud berdiri dan menuju ke belakang.

"Begitu manja kalian selama ini, padahal sudah menjadi ibu rumah tangga. Kamu mengamuk pada piring-piring itu?"

Ruheli yang tidak sengaja menjatuhkan piring, padahal dia hampir sampai ke wastafel. Lantas meminta maaf pada ayahnya.

Dalam hati ia mengumpat, semua ini gara-gara kakaknya, tinggal makan kan, kenapa juga susah turun?

"Maaf Ayah."

"Bertanggung jawablah pada permintaan maafmu." lalu ayah memerintah salah satu pembantu untuk membuat jadwal pekerjaan rumah tangga untuk kedua putrinya karena takut sang pembantu segera mengiyakan.

Karena Mahmud sedang marah, Amala tidak berani membela apalagi membantu Ruheli membuat pecahan piring di lantai.

Kondisi ini tidak membuat kedua laki-laki yang berstatus menantu di ruang makan tersinggung. Mereka menantu pilihan Mahmud, jadi sudah tahu dan tak menyalahkan kemarahan ayah mertua mereka. Bisa dikatakan mereka setuju, istri mereka memang manja. Bahkan suami Ruheli tidak pernah melihat istrinya membuatkan secangkir teh untuknya.

Bukan pekerjaan berat tapi lihatlah kekacauan yang disebabkan oleh putrinya, ia tidak pernah memanjakan mereka namun pria itu jarang memarahi keduanya. Sekarang dia tahu, baik Radhifa maupun Ruheli tidak memiliki skill pada pekerjaan rumah tangga. Apakah selama hidupnya mereka mau diurus oleh pembantu?

Sebelum keluar dari sana Mahmud memanggil Amala dan menyuruh wanita itu mengikutinya, beliau juga mengajak istrinya.

Sebelum naik ke kamar Rumi, ia memerintahkan orang kepercayaannya untuk menyiapkan mobil dan bersiap membawa putra sulungnya ke rumah sakit.

"Sakitnya parah?" tanya Mahra berbisik pada menantunya, ia tak yakin dengan kabar itu. Lalu menarik napas dalam, kenapa saat sudah dewasa anak-anak menyusahkannya?

Tapi yang ditanya tidak memberikan jawaban, inisiatifnya sendiri membuat alasan itu karena tidak ingin anggota keluarga curiga. Andai dia tahu akan se-rumit ini akan dicarikan alasan lain.

Tiba di lantai dua Mahmud mengetuk pintu, tanpa memberitahu kehadirannya ia membuka pintu tersebut dan melihat Rumi sedang bersantai di sofa besar yang terletak tidak begitu jauh dari ranjang.

"Sudah siap?" Mahmud tidak akan berbasa-basi menanyakan keadaan putranya, bukankah dia sedang sakit jadi lebih baik membawanya segera ke rumah sakit.

"Ada apa?" tanyanya bingung, Rumi juga terang-terangan menatap tajam ke arah Amala.

"Mobil sudah siap, turunlah. Ayah sendiri yang akan membawamu ke rumah sakit."

Apa? Wajah Rumi memerah. "Aku baik-baik saja."

"Keluar, kamu butuh bantuan dokter." Mahmud tidak mau mendengar alasan apapun, dia tidak perlu tahu apa yang akan dikatakan oleh putranya.

"Aku tidak sakit jadi tidak perlu bantuan dokter."

"Kamu tidak bernafsu makan, bukankah kesehatanmu terganggu? Dokter harus memeriksa tenggorokanmu."

"Ayah...." Rumi kesal pada ayah juga Amala. "Aku sedang tidak lapar karena itu tidak turun, nanti kalau mau makan aku bisa ambil sendiri."

Sayangnya Mahmud tidak mau mendengar pembelaan putranya.

"Keluar sendiri atau perlu diseret?"

Di tempatnya ingin sekali Rumi mencekik Amala agar pita suara dan lidah wanita itu putus.

Dengan terpaksa Rumi keluar, ia yang sehat walafiat akan dibawa ke rumah sakit oleh ayahnya karena kelakuan Amala.

Dokter mana yang akan percaya kalau dia datang sebagai pasien?

"Bagian mana yang sakit, mas Rumi tampak baik-baik saja." Radhifa mengomentari kondisi kakaknya ketika mereka berpapasan di bawah.

"Dokter yang lebih tahu, doakan saja kepalanya aman, " sahut Mahmud merespons komentar salah satu putrinya.

Radhifa terkejut, dia yang begitu polos tidak mengerti maksud ayahnya dan menyangka terjadi sesuatu yang serius pada kepala kakaknya. Sementara kedua ipar Rumi tanpa menahan senyum, mereka mengerti apa yang terjadi pada Rumi dan Amala.

"Akhir-akhir ini banyak orang yang sakit tiba-tiba, bagaimana kalau mas Rumi terkena kanker otak?" Ruheli segera menutup mulut setelah mengatakan hal tersebut, ia tidak sanggup membayangkan kondisi buruk itu menimpa kakaknya. Bahkan pukulan dari ibunya tak menghentikan bayangan buruk di kepala wanita itu.

Tiba di teras utama Mahmud menyuruh istrinya juga menantu berarti mengantar mereka sampai di sini, dia sendiri yang akan mengantar anak sulungnya ke rumah sakit.

Tidak ada yang bisa dilakukan Mahra, saat suaminya sudah membuat keputusan artinya tidak ada satu orang pun yang bisa ikut campur.

"Dia tidak benar-benar sakit, kira-kira ke mana ayah akan membawa Rumi?" 

Amala melihat kekhawatiran bu Mahra. "Maaf aku sudah menyebabkan kekacauan ini."

Mahra menggeleng. "Ibu lebih mengkhawatirkanmu ketimbang Rumi, tenang saja ibu cuma penasaran." Ibu berkata jujur. "Malam ini lebih baik kamu tidur di kamar Ibu saja, atau Ibu yang tidur di kamar kalian?"

Amala menoleh ke belakang, ia khawatir jika pasangan suami istri yang ada di belakang mendengar ucapan bu Mahra. Seperti perintah pak Mahmud yang menginginkan dirinya menjaga nama baik rumit dari rumah tangga mereka yang baru dibangun. Kendati pernikahan ini tidak diinginkan oleh Rumi dan Amala, tetap saja mereka telah diikat dalam akad sakral. Dalam keluarga Syah tidak boleh ada perceraian apapun alasannya.

"Semoga ayahmu memberi pelajaran yang bisa membuat Rumi berubah."

Saat bu Mahra masuk Amala mengikutinya dari belakang.

"Cucian piring kalian sudah selesai? Jangan lupa, ayah sering memeriksa CCTV." selesai menegur kedua putrinya, Mahra masuk ke kamar, ibu tiga anak tersebut juga tidak lupa menyuruh menantunya istirahat.

Radhifa mengigit bibir kesal, ini rumah apa rutan?









PEMERAN PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang