|Bab 3 ; Netra|

12 9 4
                                    

Hai hai hai!
Gimana hari ini? Oke kan?

Jangan lupa votmen nya ya!

Bacanya pelan-pelan aja, jangan buru-buru, oke?

Happy reading!

***

“Bu!”

Maguna mengangkat tangan kanannya yang berhasil mengambil atensi seorang guru wanita yang tengah mengajar.

“Iya, ada apa Maguna?” tanya guru itu halus.

“Saya izin ke toilet sebentar,” ujarnya yang dapat anggukan kepala dari guru wanita itu.

“Silahkan, jangan lama-lama ya.” Guru wanita itu tersenyum hangat mempersilahkan Maguna pergi.

“Iya bu.”

Usai mengatakan itu, Maguna langsung beranjak keluar kelas. Lelaki itu berlari menuju toilet khusus lelaki yang berjarak cukup jauh dari kelasnya.

Tanpa Maguna tau, Gazie sedari tadi mengikutinya di belakang. Perasaannya mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. Jadi, ia memutuskan untuk mengikuti Maguna dengan beralasan sama seperti Maguna.

Tiba di toilet khusus laki-laki, Maguna segera masuk ke dalam. Lelaki itu memuntahkan isi perutnya di wastafel. Sejak tadi, Maguna merasa perutnya tidak nyaman karena terus terasa mual. Oleh sebab itu Maguna izin ke toilet, daripada ia muntah di kelas, itu sangat memalukan.

Cowok itu memegangi perutnya yang terasa bergejolak sebelum kemudian kembali memuntahkan isi perutnya.

Usai puas memuntahkan isi perutnya, tangan Maguna bergerak menyalakan keran air wastafel. Pandangan matanya beralih menatap pantulan dirinya di cermin. Seketika itu juga ia terperanjat kaget.

“Gila, pucet banget kayak setan. Kalo Zie liat ini, bisa-bisa gue di ledek sama dia,” ucap Maguna. Sedetik setelahnya lelaki itu membasuh mukanya yang pucat.

“Tapi masih ganteng sih, okelah,” ujar Maguna dengan tingkat percaya diri yang melebihi cakrawala.

“Sshh.” Maguna memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.

Cepat-cepat lelaki itu mematikan keran air wastafelnya, kemudian beranjak pergi keluar dari toilet. Jari jemarinya masih sibuk memijat pangkal hidungnya, berharap pusing yang menderanya hilang.


Tapi, bukannya hilang, pusing di kepalanya malah semakin menjadi-jadi. Maguna menghentikan langkahnya, ia menggelengkan kepalanya pelan saat pandangannya tiba-tiba buram. Lelaki itu meringis, tangannya bertumpu pada tembok guna menopang berat badannya.

“Bunda sakit...,” lirih Maguna dengan ringisan yang menyusul.

Gazie yang memang sedari tadi mengikuti Maguna hendak menghampiri lelaki itu, namun langkahnya terhenti kala ia melihat seorang gadis yang sudah lebih dulu menghampiri Maguna.

“Lo gak papa?” tanya gadis itu seraya memandang khawatir ke arah Maguna.

“Bunda...,” lirih Maguna sebelum kemudian jatuh pingsan.

Grep

Lelaki itu hampir saja jatuh menghantam lantai jika gadis tadi tidak bersicepat menangkap tubuhnya. Gadis itu memeluk tubuh Maguna yang lumayan berat. Netranya bergulir ke segala arah, mencoba mencari murid lain, hingga pandangannya menangkap sesosok laki-laki yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.

“Woy! Bantuin gue angkat nih orang!” teriak gadis itu kepada seseorang yang tak lain adalah Gazie.

Dengan langkah cepat dan raut khawatir, Gazie menghampiri gadis itu. Tanpa banyak kata, ia berjongkok di depan gadis tadi. Si gadis juga langsung mengarahkan tubuh Maguna agar memeluk tubuh Gazie, supaya lelaki itu mudah menggendong tubuh Maguna.

“Nyusahin mulu lo!” gumam Gazie menyentak.

***

Lelaki itu membuka matanya. Maguna sedikit meringis kala merasakan pusing yang menyerang kepalanya. Ia memijat pelan pangkal hidungnya.

Matanya bergulir menatap sekitar sebelum kemudian tertuju pada seorang gadis yang tertidur di dekat tangannya. Ia memperhatikan lamat-lamat wajah gadis yang tidak terlalu asing baginya.

“Cewek ini, yang waktu di kuburan kan?” gumamnya bertanya. Benar, Maguna yakin seribu persen bahwa gadis ini adalah gadis yang ia lihat kemarin terduduk di samping makam tua.

“Ternyata cewek ini sekolah di sini juga. Kenapa gue baru tau ya ada cewek secantik ini di sekolah?” ujar Maguna sambil terus menatap wajah gadis itu tanpa kedip.

“Gue denger lo ngomong apa,” ujar gadis itu seraya membuka mata. Buru-buru Maguna memejamkan matanya.

“Gak usah pura-pura, percuma.” Gadis itu mengulurkan tangannya menyentuh kening Maguna. Panas seketika menjalar ke kulitnya.

Maguna meringis pelan. Lelaki itu membuka matanya dan menatap canggung gadis di depannya. Ekspresinya sekarang mirip sekali dengan maling yang tertangkap basah habis mencuri.

“Tadi temen lo bantuin gue bawa lo ke sini, tapi tadi dia balik lagi ke kelas,” ujar gadis itu memberitahu.

“Terus kenapa lo gak balik ke kelas juga?” tanya Maguna.

“Temen lo yang minta gue nemenin lo di sini,” ucap si gadis yang membuat Maguna ber'oh' ria.

Terjadi hening selama beberapa menit di antara keduanya. Mereka sama-sama diam dalam suasana canggung. Tidak ada yang memulai percakapan karena tidak tahu harus membicarakan apa.

Lama bungkam dalam keheningan, Maguna akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Eu...itu, gue boleh tau nama lo?” tanya Maguna kepada si gadis yang kini terlihat tengah memeras handuk kecil yang basah.

“Netra Degala Meelgi,” jawab gadis itu yang bernama Netra seraya mendekat ke arah Maguna. “Lo?” tanyanya ketika sudah berada di samping Maguna.

“Maguna Unggu Dagostala. Ngomong-ngomong, nama lo unik juga,” ujar Maguna jujur seraya menatap wajah datar milik Netra.

Jika di perhatikan, sepertinya gadis itu termasuk orang yang jarang bicara dan pendiam. Terbukti dari raut wajahnya yang sedari tadi hanya datar-datar saja.

“Thanks, nama lo juga unik,” balas Netra seadanya.

“Argh!” Maguna berteriak sambil memegang dadanya.

“Kenapa?” Netra menatap khawatir ke arah Maguna meski tidak terlalu terlihat sorot khawatirnya.

“Gue baper, gue baper di puji orang cantik!”

Jawaban Maguna membuat Netra berdecih pelan. Ia kira lelaki itu kenapa. Padahal ia sudah waspada, takut-takut lelaki itu terkena serangan jantung, tapi nyatanya itu hanya reaksi alay dari sebuah kata pujian.

***

Suka?
Vote dong kalo suka

Segitu dulu ya...
Makasih udah baca!

See you next chapter!

Pabay!

MagunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang