Sebuah Fakta

108 13 1
                                    

"Enggak Om, Mama kami dosen di kampus itu makanya Mama ada penelitian, Om tahu kan kampus yang tadi udah kami ceritain. Jaraknya sekitar lima belas menit dari sekolah kami. Om tahu kan letak kampusnya?" Jawab Ester saat Albian bertanya apakah mama mereka melanjutkan program pasca sarjana di kampus yang akan menjadi tujuan perjalanan mereka yang mengharuskan mama mereka untuk melakukan penelitian.

Albian menganggukkan kepalanya "Sure, setahu Om cuma ada satu perguruan tinggi institut di Bandung." Jawab Albian saat mendengar pertanyaan anak perempuan yang duduk bersebelahan dengan kakaknya di kursi belakang mobilnya.

"Om asli orang Bandung?"Arsen yang sedari tadi diam akhirnya membuka mulutnya.

Albian tersenyum sebelum menanggapi "Bukan, Om tinggal dan lahir di Jakarta."

"Aku pernah baca di buku Our World in Pictures, kalau nggak salah Jakarta itu yang ibu kotanya Indonesia kan Om?" Ucap Ester ikut bergabung dalam pembicaraan mereka.

"Iya, deket kok dari Bandung. Kalian udah pernah ke Jakarta?"

"Mama juga pernah bilang gitu. Mama dulu katanya juga pernah tinggal di Jakarta, bahkan kata Mama, Mama dulu kuliahnya di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. But unfortunately, Mama belum pernah ajak kita ke Jakarta, kata Mama Jakarta sering macet, makanya Mama malas pergi ke Jakarta kecuali ada kepentingan dari pihak kampus. Itupun Mama nggak pernah menginap." Ungkap Ester sambil mengingat-ingat ucapan sang mama.

Kening Albian berkerut saat mendengar hal itu "Jadi Ibu kalian pernah tinggal di Jakarta?" Tanya Albian memastikan.

"Bukan Ibu Om, tapi Mama." Timpal Arsen

"Tapi kemarin kalian manggilnya kan Ibu, so what's wrong? Mama sama Ibu itu two words that have the same meaning." Albian mencoba menjelaskan kepada dua anak itu, berpikir bahwa mungkin saja mereka belum tahu tentang hal itu karena mereka belum genap setahun tinggal di Indonesia.

"Yeah I know, but we see these two words as having different meanings. Buat kami Ibu itu yang merawat dan menjaga kami waktu Mama kerja dan nggak di rumah, Ibu juga yang bantuin Mama menyelesaikan pekerjaan rumah. beda sama Mama, kalau Mama itu yang melahirkan kami, cari uang buat kami dan yang menemani kami belajar dan mengerjakan homework Om. Jadi buat kami dua kata itu beda." Arsen yang biasanya hanya menjawab singkat kini menjawabnya dengan panjang lebar yang membuat Albian sedikit terkejut. Albian tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, justru ia senang kalau Arsen sekarang mau berbicara lebih banyak dengannya.

Albian terdiam ketika mendengar penjelasan Arsen, mengapa sedari tadi ia tidak menyadari kalau kedua anak itu menggunakan kosakata berbeda dengan yang mereka gunakan kemarin?

Albian kembali sibuk dengan pemikirannya sendiri. Padahal tadi Albian hanya berniat melihat kedua anak itu sebelum besok ia kembali ke Jakarta dan sudah tidak mempermasalahkan tentang orang yang melahirkan mereka, bahkan ia sudah percaya kalau wanita paruh baya kemarin adalah ibu kandung mereka.

Ucapan Alan tadi pagi saat mengatakan bahwa anak kembar yang berada di kursi belakang mobilnya mempunyai kakak terlewat kembali di pikirannya.

"Kalian punya Kakak?" Albian kembali menanyakan sesuatu yang mungkin bisa ia jadikan informasi dan bisa memperjelas apakah dugaannya benar atau salah.

"Punya, namanya Kak Alea, sekarang Kak Alea udah kuliah tapi bukan di Bandung tapi di..." Ester tampak berpikir sebelum akhirnya ia berkata "Dimana ya Kak? Aku lupa nama kotanya, pokoknya kalau dilihat dari peta jauh Om."

"Di Semarang." Jawab Arsen pada Ester.

"Nah, itu maksud aku Om."

Jawaban Ester cukup membuat Albian sedikit kecewa meksipun begitu ia tetap menganggukkan kepalanya sebagai respon atas jawaban Ester. Kalau begini sudah pasti Ibu kandung mereka bukanlah orang yang ia cari. Albian menghembuskan napasnya kasar, ia jarang sekali salah menebak tapi mungkin kali ini tebakannya meleset. Albian menghentikan mobilnya ketika mereka telah sampai di Gedung Riset dan Inovasi tempat mama Ester dan Arsen melakukan penelitian.

"Ini kan tempatnya?" Tanya Albian memastikan, karena sebenarnya dia belum pernah memasuki area kampus itu, ia bisa sampai di tempat yang disebutkan oleh dua anak itu karena bantuan aplikasi peta online gratis yang ia akses melalui perangkat mobile miliknya.

"Iya Om, waktu kami libur sekolah, kami udah pernah diajak Mama kesini, tapi kita disuruh diam dan nggak boleh ganggu karena yang melakukan penelitian bukan Mama aja." Jawab Ester meyakinkan.

"Kalian mau nungguin dimana?"

"Kami mau duduk aja di kursi yang ada di dekat pintu masuk aja Om." Jawab Arsen.

Setelah memarkirkan mobilnya, Albian keluar dari mobil bersama Arsen dan Ester.

"Ayo, Om anterin ke depan gedungnya."

Mereka menaiki beberapa anak tangga, ada beberapa bangku di bawah pohon di sana. Ester memilih duduk di bangku di dekat pintu utama agar ketika mama mereka keluar dari pintu utama, mereka bisa dengan mudah menemukan sang mama. Sedangkan Arsen hanya mengikuti adik kembarnya.

"Kalian yakin mau nungguin disini berdua aja? Gimana kalau ada apa-apa? Kalian nggak punya kenalan kan disini?" Tanya Albian sedikit khawatir karena di gedung itu tidak seramai gedung-gedung fakultas yang ia lewati tadi.

"Nggak apa-apa Om, udah jam dua paling sebentar lagi Mama juga keluar." Timpal Arsen.

"Ya udah, Om pergi dulu ya, kalau ada orang mencurigakan mau bawa kalian, kalian teriak yang kenceng aja."

Arsen dan Ester mengiyakan apa yang diperintahkan Albian, setelah itu Albian beranjak setelah mendengar ucapan terima kasih dari kedua anak itu.

Albian baru beranjak beberapa langkah. Ketika hampir menuruni anak tangga, suara Ester kembali terdengar di indra pendengarnya.

Terdengar Ester memanggil mamanya, ketika mendengar hal itu, Albian secara refleks kembali melihat ke arah sumber suara. Tubuh Albian terasa beku ketika melihat Ester dan Arsen menghampiri dan memeluk wanita yang baru saja dipanggil mama oleh keduanya.

"Loh kalian kok bisa di sini? Dianterin siapa?" Ucap perempuan yang tengah dipeluk oleh Arsen dan Ester.

Suara yang bertahun-tahun sudah tidak terdengar kini kembali menyapa telinganya. Wanita itu masih sama. Sikap dan bagaimana cara ia berbicara masih sama.Wajahnya masih memancarkan cahaya yang sama, tetapi kini memiliki paras wajahnya tampak lebih dewasa. Senyuman hangat dan tulus kembali terlihat di wajahnya.

Albian tercekat ketika sepasang mata teduh yang dulu selalu ia lihat kini menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya setelah Arsen menunjuk dirinya sebagai jawaban atas pertanyaan perempuan yang dipanggil mama oleh dua anak yang tadi ia antar ke tempat mereka berdiri saat ini.

Mungkinkah penglihatan Albian terganggu karena terlalu sering memikirkan perempuan itu?

Apakah mungkin kini yang dilihatnya nyata atau hanyalah ilusi sementara yang mengalihkan perhatiannya dari realita yang tengah ia hadapi?

__________________________




How To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang