Semilir angin malam berhembus menerpa wajah chubby Kanaya. Suara desir ombak saling menyahut, begitu merdu didengar oleh telinga. Mata menatap lekat hamparan ombak bercampur dengan kerlap-kerlip bintang serta bulan purnama di depan sana. Sungguh, menatap pantai begitu lama-lama membuat suasana hati Kanaya terasa tenang.
Beban pikiran yang tadi singgah di bahu, perlahan memudar. Tangan memeluk dirinya sendiri, menghalau rasa dingin yang mulai merasuki tulang. Namun, rasanya malas sekali pulang.
"Nay, kamu datang ke acara reuni SMA enggak?"
Suara Aviani membuyarkan berbagai lamunan di kepala. Ia menoleh ke belakang, mendapati gadis itu tengah sibuk mengutak-atik ponsel sambil berjalan ke arahnya. Dengan cepat, Kanaya mengambil ponsel Aviani secara tiba-tiba, hingga membuat Aviani tersentak kaget. Setelah itu, memasukkan ke dalam tas milik Aviani.
"Naya, ih! Kirain aku beneran dirampas orang!" Aviani cemberut menatap memelas ke arah Kanaya.
"Lagian, siapa suruh sibuk main HP." Kanaya tertawa pelan. Bertimpuh pada pasir pantai, lalu memilih duduk menyelonjorkan kakinya.
"Emang reunian, wajib ikut semua?" Kanaya bertanya menatap Aviani yang masih berdiri di sampingnya.
"Enggak wajib, sih. Tapi setidaknya kamu datang, Naya. Dua tahun yang lalu aja kamu enggak datang, masa tahun sekarang kamu enggak datang lagi."
Kanaya terdiam. Mengingat-ingat sederet kenangan masa lalu. Dimana ia tidak bisa hadir dalam acara reuni ataupun acara yang menyangkut SMA-nya dulu.
"Vi, Vijendra bilang mau melamar," ujar Kanaya tiba-tiba.
Keheningan semakin menyelimuti sekitar mereka. Aviani mengatupkan bibir, mengerjapkan mata dua kali mencerna ucapan dari Kanaya. Tubuh ikut bertimpuh mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Kanaya. Punggung tangannya ia dekatkan ke kening Kanaya, guna memeriksa suhu tubuh dari gadis itu.
"Aku serius, Via. Waktu kemarin Vijendra bilang begitu." Kanaya menepis punggung tangan Aviani.
"Terus kamu iyain gitu?"
"Awalnya mau gitu, tapi aku mikir lagi. Mustahil rasanya kalo Vijendra punya rasa cinta sama aku." Raut wajah Kanaya tampak gelisah sekaligus masam.
"Liat kamu kayak gini, jadi inget pas waktu dulu kamu ngadu ke aku. Bahwa Arawinda juga suka sama Vijendra," tutur Aviani sambil membenarkan anak rambut Kanaya yang tampak berantakan.
Kanaya mengalihkan tatapan dari Aviani ke arah depan, kembali menatap hamparan ombak pasang surut. Kepala tengah berpikir mencari-cari alasan tentang perasaannya selama ini.
"Lima tahun, Via. Lima tahun, rasanya enggak mungkin Vijendra nyimpan rasa itu selama lima tahun."
"Nay ...." Aviani memanggil, menepuk pelan bahu Kanaya. Melihat sang sahabat seperti ini, membuat Aviani tak bisa mengenali Kanaya yang memiliki sifat childish.
"Jangan terperangkap sama ucapan manis Vijendra, ya. Terakhir kali kamu percaya sama dia, kamu malah sakit hati. Sekarang, kamu fokus aja jadi ahli gizi di sana. Kalo Vijendra masih ganggu kamu, kamu minta pindah aja jadi ahli gizi di pukesmas."
"Vi, ternyata begini ya rasanya mencintai sendirian. Ngejar sendirian, giliran diajak serius. Malah jadi takut sendiri," seloroh Kanaya.
"Kalo emang tuh laki pengen serius. Dia bakalan dateng ke rumah kamu dan ketemu sama orang tua kamu, tanpa ngasih tahu ke kamu bahwa dia mau melamar."
"Iya, Via." Kanaya tersenyum menatap Aviani, tangan semakin dimasukkan ke dalam saku jas. "Pulang, yuk. Makin dingin, nih," lanjut Kanaya.
***
Malam kian larut. Suara jangkrik saling bersahutan berirama. Rintik-rintik hujan memukul genting terdengar begitu merdu. Belum lagi dengan sahutan bahagia dari suara katak. Seharusnya malam ini, Vijendra bisa tertidur dengan nyenyak setelah mencari tahu siapa laki-laki yang bersama Kanaya waktu itu.
Pada kenyataannya, Vijendra sama sekali tak bisa tidur. Kepalanya terlalu berisik, sulit sekali ditenangkan. Setiap kali ia memejamkan mata, siluet kenangan masa lalu terlintas. Membuat dirinya kembali merasakan ketakutan.
Mata tertuju pada bingkai foto polaroid yang sengaja ia buat. Berguna untuk mengenang masa-masa putih abu. Masa indah kala ia mengenal sosok Kanaya. Jujur saja, kalau gengsi yang dimiliki tidak begitu besar. Mungkin saat ini Kanaya sudah menjadi istrinya atau mungkin ia sudah memiliki anak.
"Astaga, Kanaya lagi, Kanaya lagi," ucap Vijendra tersadar, melempar bingkai foto polaroid tersebut ke sembarang arah.
"Perasaan macam apa ini? Kenapa rasanya sulit melepaskan Kanaya?" Vijendra terus mengungkapkan apa yang terselip di hati. Mengeluarkan semua pertanyaan itu meski tak ada yang menjawab.
"Kanaya ...," ujar Vijendra melirih.
Mata kembali tertuju ke arah segelas kopi hitam yang sengaja dibiarkan dingin. Sebungkus rokok pun sudah habis tak tersisa, puntung serta abunya pun berantakan di atas meja.
Vijendra mengembuskan napas berat. Di saat-saat seperti ini, bayangan masa lalu yang terasa mengerikan, ketakutannya selalu muncul. Di detik-detik akhir dari lintasan tersebut, malah senyuman Kanaya yang bisa menyelamatkan Vijendra.
"Maaf Nay bikin kamu bingung," gumam Vijendra.
Notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunan Vijendra. Ia melirik sekilas ke arah ponsel berkedip itu. Setelah tahu siapa pengirimnya, Vijendra memilih mengabaikannya. Ia lebih memilih menghabiskan segelas kopi hitam dengan sekali teguk.
Kemudian mengambil ponselnya untuk membaca isi dari pesan tersebut. Kerutan di dahi tampak jelas di wajah Vijendra kala membaca pesan itu. Mulut tersenyum sinis, bersamaan dengan itu matanya berubah menajam. Laki-laki itu tampak sedang menahan amarahnya sendiri.
[Kanaya sudah kembali? Kalian sudah saling bertemu? Apakah kalian saling menyapa atau malah saling membenci? Berwaspadalah, Vijen. Aku tidak akan membiarkanmu dimiliki oleh Kanaya.]
Vijendra melempar ponsel ke samping sofa. Pesan tersebut dikirim oleh seseorang yang terobsesi dengan dirinya. Selain karena gengsi menyatakan perasaannya sendiri, Vijendra juga merasa terkekang oleh permintaan dari orang itu.
Kadang ia sering mengutuk dirinya sendiri. Mengapa semua orang begitu terobsesi dan menyukai dirinya. Padahal menurut Vijendra sendiri, ia tidak memiliki sesuatu yang begitu istimewa untuk menjadi milik seseorang.
Dering panggilan masuk kembali memudarkan kekesalan dalam diri Vijendra. Segera ia menggeser tombol hijau tanpa melihat siapa yang menelepon di atas jam dua jelas malam. Jam-jamnya untuk beristirahat.
"Bolehkah aku jujur padamu, Vijen?"
Mata Vijendra yang semua menahan kekesalan. Berubah menjadi secerah dan sehangat mentari pagi. Bibir tak kuasa untuk tersenyum. Sungguh, rasanya ada yang bertebangan di hati mendengar suara yang kini sedang dipikirkan.
"Kanaya? Kamu belum tidur?"
"Sebelumnya aku minta maaf karena mengganggu kamu malam-malam begini. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Vijen. Rasanya begitu mengganggu kalo aku terus diam aja."
Vijendra terdiam sejenak. Dari nada suara Kanaya, sepertinya gadis itu tengah dilema dan gelisaj akan sesuatu. Pikiran Vijendra malah tertuju pada lamarannya tempo hari yang lalu. Mungkinkah soal lamaran itu, Kanaya menjadi seperti ini?
"Tolong, lupakan soal lamaran itu. Lupakan bahwa kita pernah dekat, bahkan hampir merajut kasih. Vijen, Naya tahu dulu Nay-maksudnya aku ... aku yang ngejar Vijen. Tapi untuk sekarang, aku ingi-"
"Nay, kayaknya enggak enak kalo ngomongnya via telepon. Lebih baik besok aja, temui aku di ruanganku. Sekarang kamu istirahat aja," timpal Vijendra langsung memutuskan panggilan telepon tersebut.
Jantungnya hampir berdebar tak karuan mendengar setiap kata dari Kanaya. Rasanya belum siap kalau ia kembali ditolak oleh Kanaya. Usahanya selama berminggu-minggu mendekati Kanaya, meluluhkan gadis itu rasanya tak ada hasil. Begitu sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu yang Salah✔️ TERSEDIA DI GOOGLE PLAYBOOK
Lãng mạn"Aku melepaskanmu bukan berarti aku berhenti mencintaimu, Vijendra!" - Kanaya Arayshi. *** Berpisah selama lima tahun dengan orang yang dicintai, membuat Vijendra mengingat kembali masa-masa putih abu yang terasa menyenangkan sekaligus menyakitkan...