6. Dekat?

23 2 0
                                    

Tidak ada salahnya mengikuti saran dari Adam. Bahwa cinta mesti diperjuangkan. Vijendra sendiri sedang berusaha mendekati Kanaya lagi, mencuri perhatian gadis itu diam-diam. Bahkan mengganggu gadis itu pada saat diskusi dengan tim ahli gizi.

Namun, perhatian kecil yang dilakukan Vijendra, membuat Kanaya merasa tak nyaman. Sampai gadis itu meminta bertemu di rooftop kantor. Tempat favorit Vijendra di kala sedang dilema.

"Ada apa, Nay?"

Vijendra bertanya, menatak gadis itu dengan lekat. Angin sepoi-sepoi berhembus menerpa rambut hitam nan panjang milik Kanaya. Membuat gadis itu sesekali menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah ke belakang telinga.

Sungguh Vijendra terpesona melihat Kanaya yang sibuk membenarkan rambutnya. Jantung berdebar kencang, senyum bahagia terbingkai tipis di ujung bibir. Untuk sekian kalinya, Vijendra mengagumi serta jatuh cinta kepada Kanaya lagi.

"Pak, Bapak bisa enggak, jangan suka anterin kopi ataupun sarapan ke ruangan tim saya. Saya enggak mau kalau nanti ke depannya ada skandal tak mengenakan di kantor ini antara Bapak dan saya," ucap Kanaya.

Wajah Vijendra berubah menjadi masam. Padahal apa yang dilakukan olehnya selama dua minggu ini, hanya ingin mendapatkan perhatian dari Kanaya. Berusaha mati-matian agar gadis itu mau meliriknya kembali. 

"Kamu enggak suka, ya?" Vijendra bertanya, tatapan sendu tertuju ke dalam bola mata gadis itu.

Mulut Kanaya terbuka sedikit, terkesima oleh pertanyaan itu. Mata berkedip dua kali, lalu langsung mengalihkan ke arah lain.

"Padahal apa yang aku lakukan selama ini, cuma pengen dapat perhatian dari kamu, Nay," tutur Vijendra yang sukses membuat Kanaya melirik dengan cepat.

Kanaya tidak salah dengar bukan? Kata-kata itulah yang dulu ingin ia dengar. Sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan. Bukan keterdiaman serta terkejut mendengar kalimat itu, justru Kanaya malah tertawa pelan. Tawa meremehkan kalimat tersebut.

"Sejak kapan Bapak perhatian kayak gini?" Kanaya menatap Vijendra seraya tersenyum tipis.

"Bukannya dulu kita pernah dekat, 'kan?"

Apa yang diucapkan oleh Vijendra membuat Kanaya tertawa pelan. Sampai matanya berkaca-kaca, tangan menepuk pelan bahu laki-laki itu. Setelah merasa puas tertawa, Kanaya menatap serius ke arah Vijendra.

"Dekat?" Alisnya berkerut, senyum di bibir kian menipis. "Itu dulu, Pak. Pada saat kita masih SMA, zaman-zamannya masih pubertas," lanjut Kanaya.

Sumpah, apa yang dikatakan oleh Kanaya membuat rasa malu menyelimuti benak Vijendra. Benar-benar membuat semangat dalam diri untuk berjuang malah kian menipis saja. Akan tetapi, Vijendra tidak akan menyerah, ini awal mula dirinya ditolak oleh Kanaya. Sama halnya seperti zaman SMA dulu, dimana Kanaya yang ditolak oleh dirinya.

"Aku tahu, Nay. Tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk dekat sama kamu."

Kanaya terdiam, mencerna apa yang diucapkan oleh Vijendra. Cuaca yang tidak terlalu terik membuat suasana di atas rooftop itu terasa sejuk, belum lagi dengan angin yang membelai wajah. Namun, terasa tak sejuk di hati Kanaya.

"Jangan panggil aku 'bapak' di saat kita lagi berdua, Nay. Panggil aku Vijen seperti dulu pada saat kamu mencari-cariku."

"Vijen?" Kanaya memanggil nama itu, nama yang kembali mengingatkannya pada kenangan masa lalu.

Nama itu yang selalu Kanaya sebut setiap saat. Dimulai sewaktu masa MPLS ia menyimpan rasa suka. Lalu pada kelas sebelas, ia memiliki keberanian mendekati Vijendra hingga sampai di kelas dua belas. Detik-detik Kanaya menyerah karena tak kunjung bisa meluluhkan hati Vijendra. Miris sekali nasib cinta SMA-nya dulu.

"Vijendra Bimantara Ilyasa. Nama yang aku kagumi, aku sukai, dan membuat aku jatuh cinta, dulu. Kini kembali aku ucapkan," batin Kanaya menatap begitu lekat wajah Vijendra.

"Kamu tahu, Vijen?" Kanaya berucap, mata tertuju lurus ke dalam bola mata Vijendra tak terelakkan.

Membuat keduanya sama-sama saling menatap. Mengenang masa-masa indah kala remaja. Merajut kasih tanpa mau memikirkan konsekuensi apa yang diterima saat rasa tersebut tak terbalas.

"Kita merupakan sejoli yang pernah saling singgah, bukan punah. Bukan juga musnah, tapi kisah yang sudah. Kamu tahu artinya apa?" Kanaya menaikkan satu alis bertanya kepada Vijendra, sedangkan laki-laki itu menggeleng pelan tak mengerti.

"Artinya, aku pernah singgah ke dalam hidupmu, berusaha membuka kasar pintu hati, bahkan berusaha meluluhkan hatimu. Aku senang kamu membiarkanku mengacaukan setiap saat, memberi sedikit senyuman, juga mengelus pelan kepalaku. Aku senang kamu memperlakukan aku seperti itu. Namun, pada akhirnya aku menyerah, aku menyudahi mengejar kamu. Dan aku juga mulai menyadari betapa murah dan malunya saat mengingat momen tersebut."

Vijendra begitu tenang mendengarkan Kanaya. Bahkan laki-laki itu sampai tak berkedip sama sekali, melihat gadis impiannya banyak berbicara dengan raut wajah yang berbeda-beda.

"Soal kamu yang ingin dekat sama aku, itu mah hak kamu sendiri. Setidaknya, di sini aku udah ngasih tahu kamu. Bahwa aku pernah punya rasa kamu, tapi sekarang ... udah enggak lagi," ungkap Kanaya.

"Enggak apa-apa. Kini giliran aku yang berjuang buat dapetin kamu," sahut Vijendra seraya mengelus pelan kepala Kanaya, bahkan bibir laki-laki itu pun terulas senyum kecil.

Membuat aliran darah dalam diri Kanaya terasa terhenti. Air liur seakan sulit untuk ditelan. Mata berkedip dua kali merasakan usapan lembut di kepala.

"Kamu manis kalau lagi bengong gini," ujar Vijendra.

Sontak saja Kanaya langsung berbalik badan, berjalan ke arah pembatas tembok rooftop guna menetralisirkan debaran di jantung. Ternyata tidak cuma dulu saja laki-laki itu bikin resah dan membuat para gadis terpesona. Sekarang pun sama, jauh lebih meresahkan.

"Sampai kamu belum mempunyai pacar atau suami, aku akan terus ngejar kamu, Nay!"

"Aku enggak bisa melepaskan kamu lagi. Aku enggak mau nyesal untuk kedua kalinya."

Tuh, 'kan, Vijendra benar-benar membuat Kanaya merasa tak nyaman. Langkah Kanaya membawa keluar dari rooftop dan menuruni tangga dengab tergesa-gesa. Rasanya tak baik-bik saja kalau ia masih berhadapan dengan Vijendra. Usaha melupakan yang selama ini dilakukan oleh Kanaya seperti sia-sia.

"Kenapa harus di waktu sekarang Ya Tuhan. Di waktu yang benar-benar salah," gerutu batin Kanaya.

Waktu yang Salah✔️ TERSEDIA DI GOOGLE PLAYBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang