Jujur saja, kalimat yang diucapkan oleh Vijendra tadi siang, terus berputar di kepala. Ia tak salah dengar, 'kan? Sejak kapan laki-laki itu mulai tertarik kepadanya. Padahal dulu pada saat Kanaya mencoba mendekatinya, mencuri hati dari laki-laki itu, malah penolakan yang diterima. Ya walaupun ada bumbu romantis sedikit yang pernah dialami oleh Kanaya.
"Hei, Naya!"
"Naya!"
Kanaya tersentak kala bahunya digoyangkan pelan. Ia menoleh ke samping, mendapati Kaivan tengah tersenyum menatap heran ke arah dirinya. Lalu tatapan itu tertuju ke depan melihat bakso yang dipesan, mulai mendingin.
"Lagi mikirin apaan, Nay? Kayak yang serius banget sampe bakso kesukaanmu didiami," ujar Kaivan.
Kanaya mengatupkan bibir, mengaduk-aduk bakso tersebut tanpa minat. Siluet wajah Vijendra terlintas begitu saja, tadi sebelum ia dijemput oleh Kaivan. Ia sempat melihat ke arah lobi, yang dimana Vijendra sedang berdiri sambil menatap ke arahnya.
"Kamu pernah dengar kan, Kai. Soal aku pernah ngejar seseorang sewaktu SMA selama bertahun-tahun?"
Kaivan menghentikan suapan terakhirnya. Melirik sekilas ke arah Kanaya. Lalu mengalihkan mata ke arah depan sana, menatap lalu-lalang kendaraan roda dua dan empat. Kanaya memang pernah menceritakan kisah cintanya sewakti SMA dulu, tetapi Kaiv tak berani bertanya lebih tentang siapa orang yang beruntung dicintai bertahun-tahun oleh Kanaya.
"Kenapa kamu ngomong kayak gitu?" Kaivan bertanya untuk memastikan, melanjutkan suapan terakhirnya sambil menunggu jawaban dari Kanaya.
"Aku ketemu sama dia, Kai," tutur Kanaya.
Kaivan hampir tersedak oleh kunyahan yang ada di dalam mulut. Buru-buru ia mengambil segelas teh tawar untuk menandaskan rasa seret di tenggorokan. Menatap Kanaya dengan alis berkerut, benarkah laki-laki yang Kanaya cintai itu sudah kembali? Lalu keduanya sudah sama-sama saling bertemu?
"Lalu, apa yang mengganggu pikiranmu?"
Kanaya menghela napas berat. Menunduk dalam, bingung harus berbuat apa. Sungguh, perasaannya sekarang ini terasa plin-plan. Bohong rasanya kalau Kanaya tidak terpesona oleh karisma dari seorang Vijendra.
"Iya, enggak ada, sih. Cuma agak enggak nyaman rasanya." Kanaya kembali mengangkat kepala, menatap Kaivan lurus ke depan, sudut bibir tertarik membentuk senyuman kecil. "Maaf, ya, bikin enggak nyaman gini," lanjut Kanaya.
Kaivan tersenyum manis, tangan mengacak-acak puncak kepala Kanaya dengan pelan.
"Enggak apa-apa, Nay. Kalau ada apa-apa cerita aja aku siap dengar cerita kamu," ucap Kaivan.
Kanaya mengangguk mengiakan. Melanjutkan makannya menghabisi bakso yang tersisa setengah lagi. Sementara Kaivan hanya menatap gadis itu makan dari samping seraya menopang dagu sendiri.
"Manis," ucap pelan Kaivan.
Sontak saja Kanaya yang masih bisa dengar ucapan itu, tersedak. Membuat tenggorokan terasa perih, ia menerima sodoran segelas air putih dari Kaivan. Segera menghabiskannya demi bisa menghilangkan rasa tak enak di tenggorokan.
"Aku manis? Aku enggak salah dengar?" Kanaya tertawa pelan, menutupi mulut dengan malu-malu. Tangan memukul pelan bahu Kaivan.
"Tanpa kamu bilang gitu aja, aku udah manis tahu," sambung Kanaya berdeham, menutupi mulutnya sendiri.
Melihat sifat kekanak-kanakan Kanaya keluar, Kaivan ikut tertawa melihatnya. Kembali mengacak-acak puncak kepala Kanaya sampai membuat rambut gadis itu berantakan.
"Ish, Kai! Rambut aku jadi berantakan tau!" Kanaya menghindar, menjauhkan lengan laki-laki itu dari kepala serta wajahnya.
"Siapa suruh ngegemisin?" Kali ini bukan puncak kepala yang diacak-acak oleh Kaivan, melainkan pipi chubby gadis itu ia tarik dengan pelan. Sukses membuat Kanaya geram memarahinya.
***
Bukannya pulang ke rumah sendiri. Justru Vijendra malah mampir ke rumah Adam. Beban pikiran semakin hari semakin bertambah, tidak hanya tentang pekerjaan. Kini kisah cintanya pun selalu mampir di kepala. Kebetulan sekali rumah Adam sedang kedatangan tamu; sahabat SMA mereka pun tengah bertamu di rumah Adam.
"Sumpah, gue enggak ngundang kalian semua. Ngapa sekarang rumah gue rame begini," ujar Adam merasa kesal melihat ruang tamu berantakan bak kapal pecah.
Bungkus snack dimana-mana. Kaleng kopi yang sudah habis tergeletak di sembarang tempat, lalu puntung rokok beserta abunya berserakan di karpet. Berulang kali Adam menguatkan diri untuk bersabar menghadapi sahabat-sahabatnya itu.
Terlebih lagi menghadapi Vijendra. Sedari tadi sang sepupu hanya diam menikmati tegukan demi tegukan kopi buatannya, yang sengaja tak diberi gula. Anehnya, Vijendra malah meminta lagi.
"Dam, si Vijen kenapa?" Laki-laki yang sedang duduk di samping Adam mulai bertanya saat merasa ada keanehan dari salah satu sahabat mereka—Reiy.
"Enggak tahu, kayaknya lagi patah hati," ucap Adam acuh tak acuh, kembali melihat Abay dan Lana bermain PS.
Reiy hanya mengangguk mengiakan dan tak bertanya lagi. Toh, dari kelima laki-laki itu, cuma Reiy yang masa bodoh dengan masalah sahabat-sahabatnya.
"Lo pada dateng enggak ke acara reuni nanti?"
Keheningan yang sempat terjadi, kini pecah oleh pertanyaan dari Abay. Membuat Adam mengerutkan dahi bingung. Perasaan reuni yang diadakan oleh SMA mereka sudah terlaksana, hanya saja ia dan Vijendra tak hadir.
"Bukannya empat hari yang lalu ya reuninya?" Adam bertanya, menatap ke arah Abay yang masih asik dengan gamenya.
"Undangan itu cuma organisasi sekolah aja. Reuni seangkatannya lusa nanti."
"Datang aja Dam, Jend. Kalian kan kemaren enggak datang, kali ini harus datang," ujar Lana.
"Setuju, sekalian reuni sama gadis bar-bar dan kekanakan yang pernah ngejar-ngejar lo dulu," sahut Reiy.
"Dia udah ketemu sama Kanaya," sambung Adam.
Sontak saja Abay dan Lana langsung menjeda game mereka. Lalu mendekat ke arah Vijendra, menunggu sang sahabat membuka mulut menceritakan pertemuannya.
"Ngapain lo pada deketin gue?" Vijendra yang sedari tadi melamun, terkejut didekati oleh Abay di sisi kanan, serta Lana di sisi kiri.
"Lo beneran udah ketemu Kanaya? Gimana kabar Kanaya sekarang? Dia makin cantik kan ya?" Abay bertanya bertubi-tubi, wajahnya begitu penasaran dengan sosok Kanaya yang sekarang.
"Lo masih cinta sama Kanaya?" Kali ini pernyataan telak dari Lana membuat Vijendra menghela napas pelan. Dibilang cinta sih cinta, dibilang enggak sih iya juga, tetapi apa yanh dirasakan oleh Vijendra tentang definisi 'masih cinta' itu benar-benar sulit untuk dijabarkan.
"Jangan bilang ... lo banyak diam sekaligus ngelamun di sini gara-gara Kanaya? Lo lagi enggak ditolak sama Kanaya, 'kan?" Reiy yang ikut menyimak, mulai menyuarakan pertanyaannya.
Melihat Vijendra yang membuang muka. Membuat keempat laki-laki itu mengembuskan napas panjang sambil mengeluarkan kata 'ah', yang artinya mereka tahu arti mengapa Vijendra membuang muka; tebakan mereka benar. Bahwa Vijendra sudah ditolak oleh Kanaya.
"Karma is real!" hardik Lana.
"Tapi gue bakal lamar dia meski udah ditolak. Baru sekali ini ditolaknya," ucap Vijendra mantap.
Keempat laki-laki itu membulatkan mata dengan terkejut. Menatap ke arah Vijendra dengan tatapan tidak percaya. Terkesima oleh pernyataan Vijendra yang ingin membawa Kanaya ke dalam hubungan serius.
Keempat sahabatnya mengira bahwa Vijendra tidak akan berani mengatakan keinginan tersebut. Terlebih lagi, dulu Vijendra dikenal sebagai laki-laki gengsinya besar.
"Lo lagi enggak ngigau, 'kan?" Adam memastikan sekali lagi. Kali ini dengan menyentuh kening Vijendra, dengan cepat Vijendra menepis punggung tangan Adam yang bertengger di keningnya.
"Gila! Kapal Kanaya dan Vijendra berlayar kembali setelah lima tahun tanpa kabar," seloroh Abay.
***
Kira-kira Kaivan sama Kanaya punya hubungan apa ya?
Lalu, benarkah Vijendra serius dengan ucapannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu yang Salah✔️ TERSEDIA DI GOOGLE PLAYBOOK
Romance"Aku melepaskanmu bukan berarti aku berhenti mencintaimu, Vijendra!" - Kanaya Arayshi. *** Berpisah selama lima tahun dengan orang yang dicintai, membuat Vijendra mengingat kembali masa-masa putih abu yang terasa menyenangkan sekaligus menyakitkan...