17. Ibaratkan Lagu

10 1 0
                                    

Hembusan angin sore membelai pipi Kanaya. Mata tertuju ke depan, menatap anak-anak kecil serta remaja sedang bermain di lapangan hijau sana. Tawa riang mereka membuat Kanaya mengulas senyum kecil. Pikiran penuh terasa mereda meski sedikit kala melihat kelucuan anak-anak itu bermain.

"Susah ya mencintai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya," ucap Kaivan, ikut duduk di samping Kanaya sambil menyodorkan plastik putih berisi es teejus.

Kanaya menerima es tersebut, bibir terlukis senyum masam. Sungguh, ia benar-benar merasa tak enak kepada Kaivan perihal ajakan nikah kemarin lalu. Kanaya benar-benar belum siap, ada yang ditakutkan dalam menjalani hubungan jenjang serius itu.

"Bodohnya kamu malah nunggu orang tersebut," balas Kanaya melirik Kaivan dengan sendu. Sungguh, hatinya masih merasa tak enak terhadap penolakan itu.

Kaivan tertawa pelan. Mengusap lembut kepala Kanaya. Lalu membenarkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu. Tuh 'kan, apa yang dilakukan oleh Kaivan benar-benar semakin membuat Kanaya tak enak hati. Laki-laki itu terlalu baik dan manis, padahal Kanaya sudah menyinggung perasaan laki-laki itu.

"Enggak apa-apa, Nay. Aku di sini bakalan terus berdoa supaya kamu benar-benar jadi jodohku," kata Kaivan mengulas senyum manis di bibir.

Kanaya tak berkedip sama sekali. Terbuat dari apa hati laki-laki ini sampai tak merasa canggung setelah ditolak. Bahkan bisa-bisanya bersikap manis.

"Kalau yang tertulis di lauhul mahfudzku bukan kamu, bagaimana?"

Bodoh, Kanaya merasa bodoh setelah bertanya seperti itu. Seolah-olah ia tak menginginkan Kaivan sebagai jodohnya. Ingin meralat, laki-laki itu keburu tertawa pelan kembali. Membuat ia menunggu jawaban apa yang akan diucapkan oleh Kaivan.

"It's okay. Enggak apa-apa, aku bakalan coba ikhlasin kamu sama jodohmu nanti. Mungkin kita bersama bukan sebagai pasangan, melainkan sahabat. Aku cuma bisa berharap kamu bahagia sama pilihan kamu nanti," tutur Kaivan mengulas senyum tipis, meski di dasar hatinya terasa sesak.

Kanaya mengulas senyum tipis. Kalimat itu terdengar menyedihkan di telinga Kanaya. Seakan-akan itu kalimat merupakan kalimat perpisahan mereka. Mata terus terfokus ke depan sana, enggan melirik sejenak ke arah Kaivan.

Membuat keduanya sama-sama bergeming dengan pemikiran masing-masing. Keheningan menyelimuti mereka sampai es dalam genggaman tangan Kanaya habis tak tersisa.

"Kanaya!"

Teriakan cempreng dari seseorang membuat Kanaya dan Kaivan menoleh. Bahkan keheningan yang sempat menyelimuti buyar seketika oleh teriakan tersebut. Keduanya kompak tersenyum cerah melihat seorang gadis berlari ke arah mereka dengan membawa dua kantong kresek. Napas gadis itu tersenggal-senggal, mencoba meraup oksigen di sekitar akibat terlalu banyak berlari.

"S–sumpah ... cuma lari beberapa meter doang, capek banget," ucap Aviani terengah-engah, lalu mengambil duduk di samping Kanaya.

"Berduaan mulu, ntar ketiganya setan!" Aviani menatap sinis keduanya, lalu menyerahkan satu kantong kresek kepada Kanaya.

"Kamu 'kan setannya, Vi," sahut Kaivan diakhiri tawa ringan.

Kanaya pun ikut menertawakan lelucon tersebut sambil membuka kantong kresek pemberian Aviani, yang berisi kimbab beserta samyang. Sebelum mampir ke lapangan bola ini, Kanaya sempat memesan makanan kepada Aviani dan berniat makan bersama di lapangan, hitung-hitung piknik sore meski dengan duduk emperan seperti gembel.

"Pak dosen sekalinya ngomong nyelekit banget, ya. Sembarangan banget ngatain cewek secantik diriku itu kayak setan," kata Aviani begitu percaya diri sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.

Kaivan terkekeh pelan dengan tingkah Aviani. Mereka bertiga merupakan sahabat sejak masa perkuliahan dulu. Sampai sekarang tetap menjadi sahabat.

"Kamu di sini lagi galau, ya?"

Sempat terjadi keheningan beberapa detik. Pertanyaan Aviani sukses membuat Kanaya menoleh. Memangnya wajah Kanaya begitu kentarakah sedang galau? Kalau memang begitu, Kanaya akan berhati-hati agar tak ada seorang pun yang mengetahui betapa kacaunya hatinya saat ini.

"Masih kepikiran Vijendra? Atau belum bisa lupain dia?" Aviani terus menebak-nebak, membuat Kaivan mengangkat satu alisnya seolah-olah menyetujui pernyataan tersebut.

"Kamu cenayang, ya, Vi?" Kaivan tertawa pelan, dengan percaya dirinya Aviani membusungkan dada sambil mengumamkan namanya sendiri. "Kayaknya sahabatmu ini belum bisa move on sama cinta masa lalunya," lanjut Kaivan melirik Kanaya sejenak.

Sungguh, lirikan mata Kaivan membuat Kanaya tak nyaman. Bukan apa-apa, Kanaya semakin merasa bersalah kepada laki-laki itu.

"Menurut aku ya, Nay. Ini mah menurut aku," papar Aviani menjeda kalimatnya, mengatur posisi duduk menjadi menyamping menatap kedua sahabatnya itu. "Bukan kamu yang enggak bisa lupain dia. Tapi emang dia punya tempat tersendiri di hati kamu. Mau sejauh apapun kamu mencari orang baru atau mencoba buka hati buat Kaivan ...." Aviani kembali menjeda sambil melirik Kaivan, seakan tahu bahwa dua sahabatnya sedang terjebak dalam hubungan friendzone.

"Dia tetap balik ke pikiran dan hati kamu, bahkan tetap menjadi orang yang terbaik bagi kamu, Nay. Sebenarnya apa yang kamu alami itu, diibaratkan dengan lagu, liriknya selalu melekat dalam pikiran kamu. Kadang kamu juga lupa sama judul lagu tersebut, tapi belum tentu juga kamu ingat. Tapi berbeda sama liriknya, kamu bakalan keingat terus," sambung Aviani, yang sukses membuat Kanaya terdiam.

Semilir angin sore berhembur menerpa mereka. Makanan yang belum terbuka, masih utuh di dalam kantong kresek. Ketiganya sama-dama diam, menunggu salah seorang yang sedang galau perihal percintaan membuka suara terlebih dulu.

"Jadi ... aku harus melepaskan dia atau balik ke dia?" tanya Kanaya menatap Aviani singkat, lalu menatap ke arah Kaivan yang tampak sedang menatap anak-anak laki-laki bermain bola di depan sana.

"Tanya hati kamu. Hati kamu masih menginginkan dia atau enggak. Mau sebanyak apapun kamu cari cowok yang kayak dia, kamu enggak akan bisa nemu yang kayak dia. Bahkan enggak ada sama sekali. Kuncinya itu satu, tanya hati kamu, Nay. Kamu masih cinta sama Vijendra atau enggak?" Aviani sudah seperti pakar dalam percintaan saja. Berusaha berbijak kepada sahabat yang tengah bermasalah dalam percintaan.

"Tapi, Vi. Dia sudah mau nikah sama Arawinda," ungkap Kanaya melirih, kalimat itulah yang sedari tadi ada ditahan oleh Kanaya.

"Kamu yakin dia mau nikah sama cewek lain?" Kaivan bertanya untuk memastikan, mendapati anggukana kepala dari Kanaya membuat Kaivan dan Aviani saling pandang.

"Mungkin bisa aja itu cuma akal-akalan cowok itu, biar kamu mau melirik dia, Nay. Bukankah kata kamu, Arawinda itu orang yang bikin kamu jauhin cowok itu. Jadi, kemungkinan itu cuma rencana," ujar Kaivan.

Kanaya menatap Kaivan dengan lekat. Ia lupa, bahwa Kaivan sudah mengetahui secara rinci tentang kisah percintaannya semasa SMA. Tentang bagaimana ia dan Vijendra bertemu, sampai sikap kekanak-kanakan Kanaya yang mengejar Vijendra, hingga perpisahaannya. Sungguh lucu memang, Kanaya yang berani menceritakan kisah sendiri pada orang lain.

"Sudah, ah, jangan bahas itu." Kanaya mengeluh, ia seperti sedang diintrogasi oleh kedua orang tuanya sendiri. Tiba-tiba matanya berbinar melihat tukang es krim keliling sedang mangkal tak jauh dari anak-anak yang tadi sedang bermain bola.

"Beli es krim dulu, ah ...!" Kanaya berdiri dari duduk, lalu berlari dengan sedikit melompat ke arah tukang es krim tersebut.

Aviani serta Kaivan cuma bisa saling pandang. Lalu tertawa riang melihat tingkah Kanaya. Mereka sudah menduga akan seperti ini setelah dinasihati atau diomongi perihal percintaan. Pasti Kanaya akan menghindar dari mereka untuk mencerna serta merenungi diri.

"Dia lucu, ya, Vi. Tapi sayang, kayaknya dia bukan jodohku," ungkap Kaivan menatap ke depan sana, menatap Kanaya yang sedang jajan es krim.

Waktu yang Salah✔️ TERSEDIA DI GOOGLE PLAYBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang