2. Dia kembali?

66 7 4
                                    

Sesuai dengan permintaan sang bos tadi. Harris membawakan beberapa dokumen pelamar kandidat ahli gizi kepada Vijendra. Kini laki-laki itu tengah sibuk memeriksa beberapa berkas dari pelamar ahli gizi untuk ditempatkan di perusahaan cabangnya. Ia sangat membutuhkan peran ahli gizi untuk menunjang perkembangan produksi makanan dari perusahaan. Tak hanya memproduksi makanan saja. OkNak merupakan perusahaan yang memproduksi makanan kaleng, siap saji, snack, serta minuman susu bersoda yang dimana akan diekspor ke luar negeri. Serta sudah ada tiga negara yang bekerja sama dengan perusahaan OkNak.

"Kenapa harus ahli gizi yang lo cari, Jend?"

Di saat tengah sibuk memeriksa berkas pelamar, juga proposal dari tim pemasaran. Suara Adam menggema dalam keheningan ruang kantor. Vijendra tak terlalu merespons, dirinya terlalu sibuk membolak-balik kertas, lalu mata tertuju ke arah laptop pribadi untuk memastikan data sesungguhnya yang diajukan oleh tim pemasaran.

"Lo cari kandidat ahli gizi buat cari gadis itu?"

Sontak saja aktivitas yang tengah dilakulan oleh Vijendra terhenti. Tatapan sinis ia unjukan ke arah Adam—begitu santai duduk di hadapannya sambil memakan es krim—Vijendra menghela napas pelan. Kalau saja Adam bukan sepupu sedarah dari sang papa, mungkin ia sudah memecat Adam saat ini juga.

"Bisa enggak, lo jangan bahas Kanaya mulu? Gue sama dia cuma sebatas kisah semasa putih abu."

"Ya, memang. Kisah putih abu, yang berjudul upik abu dan pangeran. Upik abu yang ngejar-ngejar si pangeran batu," ujar Adam mengejek Vijendra.

"Dam, lo pernah enggak ngerasain ditimpuk pake panci yang ada air panasnya langsung?!" Tatapan Vijendra menajam, amarah menyelimuti benak. Adam benar-benar menguji kesabaran serta emosi Vijendra.

"Kalo muka gue kena air panas, ntar enggak ganteng lagi, dong. Mending lo lempar gue pake duit, 'kan enak."

"Berisik lo!" bentak Vijendra yang sudah habis kesabarannya menahan amarah sendiri.

"Wes, santai Mas Bro!" Adam sedikit tersentak oleh bentakan tersebut, tetapi laki-laki itu tak terlalu memedulikan. Ia malah membenarkan posisi duduk sebelum melanjutkan menikmati suapan demi suapan es krim ke dalam mulutnya.

Vijendra menghela napas berat. Satu kantor dengan Adam membuat darah tingginya naik. Ia pikir setelah menderita selama belasan tahun di jenjang pendidikan, ia tidak akan bertemu dengan Adam lagi. Nyatanya malah satu pekerjaan dengan kantor yang sama.

"Kalo diinget-inget lagi, ya. Gue salut sih sama perjuangan gadis bar-bar itu. Mau-maunya ngejar-ngejar cowok jelek kayak lo," ejek Adam yang sukses membuat Vijendra melempar bolpoin ke arahnya.

Untungnya, Adam segera melesat ke kiri menghindari lemparan bolpoin tersebut. Bukannya meminta maaf, justru Adam malah menyengir menatap Vijendra yang tengah beristigfar melihat kelakuannya sekarang.

"Lo akhir-akhir ini marah-marah mulu, cepet tua baru tahu rasa!"

Vijendra sudah tak tahan lagi. Ia bangun dari duduknya dan berlari keluar dari ruang kantor pribadi menghindari Adam. Setelah ini, ia akan melaporkan kinerja Adam ke sang papa atau kalau bisa ia meminta Adam untuk dipindahkan ke cabang lain.

"Sial! Adam bener-bener bikin emosi. Bukannya kerja, malah nyantai enggak tahu diri," gerutu Vijendra di setiap lorong kantor.

Kekesalan masih menyelimuti benak. Sampai ia tak sadar bahwa langkahnya membawa ke arah ruang aula interviu dari kandidat ahli gizi. Entah mengapa, ia jadi teringat siluet dari seseorang yang tadi pagi ditemuinya, begitu sama persis dengan Kanaya. Lagi, lagi, Vijendra mengingat sosok gadis itu.

Vijendra segera sadar dan siap berbalik badan siap pergi. Namun, saat tubuhnya berbalik, ia tak sengaja menabrak tubuh seseorang hingga membuat orang itu tersungkur ke lantai.

"Maaf, maafkan saya, Mbak," ucap Vijendra membantu gadis itu berdiri.

Gadis itu menerima bantuan Vijendra. Kepalanya masih menunduk hingga rambut panjangnya menutupi wajah, tangan memukul pelan pinggul menghempaskan debu yang takutnya menempel di rok-nya akibat terjatuh tadi.

"Saya minta maaf, saya tidak lihat tadi," ucap Vijendra lagi.

Gadis itu mendongakkan kepala seraya menyisikan anak rambutnya ke belakang telinga. Membuat dahi Vijendra mengerut menunggu siapa orang yang tak sengaja ia tubruk tadi serta penasaran bagaimana wajahnya. Mata terbelalak terkejut mengenali siapa gadis itu. Keduanya sama-sama saling menatap dengan mata penuh kejut.

Tak ada sapaan yang keluar dari mulut mereka kala sadar bahwa mereka sama-sama saling mengenal. Hanya terdiam, saling menatap sambil teringat masa lalu. Tatapan keduanya tampak menyiratkan kesenduan. Salah satunya, ada asa yang tak pernah terwujud, dan ada penyesalan yang tak kunjung terucap kata maaf.

Lama saling menatap sampai waktu pun terasa ikut berhenti, gadis itu segera memutuskan kontak mata mereka. Lalu menunduk hormat ke arah Vijendra, ia mengira bahwa posisi laki-laki itu sangat tinggi di kantor ini; terlihat dari pakaian formal hingga jam mahal yang melingkar di pergelangan lengan laki-laki itu.

"Udah lama enggak ketemu ya, Nay. Apa kabar sekarang?" Vijendra sadar bahwa ia terlalu banyak diam menatap wajah gadis bar-bar pengganggu di sekolah dulu, mengagumi sosoknya.

Doa yang selama ini ia panjatkan agar dipertemukan kembali, kini terkabul juga. Ada kebahagiaan menyelinap dalam benak saat melihat kembali wajah Kanaya. Seorang gadis yang pernah ada dan singgah dalam cerita masa sekolah Vijendra dulu.

Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Hal itu membuat Vijendra mengedipkan mata dua kali. Senyuman Kanaya masih sama. Sama-sama menjadi candu untuk ditatap lebih lama.

"Maaf, siapa?" Tatapan matanya seperti bertanya-tanya serta berpikir mengingat-ingat tentang sesuatu, sampai .... "Ah, Vijendra? Hai, aku baik."

Kebahagiaan dalam diri Vijendra perlahan memudar. Senyum yang tadinya sempat terlukis di bibir kini berubah menjadi kecut. Ada yang berbeda dari gadis itu, nada suaranya terdengar berbeda.

"Ngobrolnya nanti aja ya. Aku udah telat, maaf. Sampai jumpa!"

Kanaya bergegas meninggalkan Vijendra yang masih memaku di tempatnya berdiri. Kepala menoleh mengikuti kemana perginya gadis itu, yang memasuki ruang aula interviu kandidat ahli gizi. Berbagai pertanyaan mulai berputar di kepala. Ingatan demi ingatan dari masa lalu pun ikut terlintas sekelibat.

"Dia kembali. Kita bertemu lagi setelah sekian lama berpisah, tapi aku merasa bahwa kita kini telah menjadi asing," ucap Vijendra pelan, bibirnya mengulas senyum tipis.

***

Hai, jangan lupa beri review dan bagaimana dengan ceritanya, hahaha.

Waktu yang Salah✔️ TERSEDIA DI GOOGLE PLAYBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang