Bagian 9

53 7 2
                                    

➺ Publish : Minggu, 04 Januari 2024

☆࿐ཽ༵༆༒ SELAMAT MEMBACA ༒༆࿐ཽ༵☆

D

i dalam kamar yang di dominasi warna biru gelap, terlihat suram pagi ini. Lampu kamar tidak di nyalakan semalaman, jendela dibiarkan terbuka, dan lagi, sinar matahari belum sepenuhnya terbit sehingga ruangan tersebut gelap dan juga dingin.

Namun, sepertinya hal itu tidak mengusik seorang pemuda kecil, yang duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada tepi ranjang.

Ini adalah salah satu kebiasaannya ketika tidak bisa tidur.

Tatapannya kosong mengarah keluar jendela. Penampilannya sedikit berantakan. Perban yang seharusnya masih melekat di kepalanya, sudah lepas entah di mana. Ada lebam kebiruan pada pipi tirusnya, tampak masih baru.

Tit tit tit tit——

Alarm berbunyi di atas nakas, tidak jauh dari posisinya. Tangannya yang kurus terjulur menyentuh alarm tersebut kemudian mematikannya. Manik coklat miliknya yang tampak redup, melirik sebuah bingkai foto, yang mana di dalamnya terdapat foto tunggal seorang wanita cantik dengan gaun putih polos dan sederhana.

Jemarinya yang semula masih menyentuh alarm, kini beralih meraih bingkai tersebut. Bibirnya yang pucat nampak bergetar saat mengusap foto itu.

Ia bergumam senyap.

——Okaasan

Hinata Shoyo menangis sambil memeluk erat bingkai foto sang ibu. Tubuhnya meringkuk. Suara isakan terdengar bergema di dalam ruangan.

Sudah hari ke-empat setelah kepergian Sora. Rasa sakit kehilangan seorang ibu tentu masih ada. Bayangkan saja bagaimana rasanya melihat ibumu sendiri mati di hadapanmu? 

Ini pertama kalinya Shoyo kembali menangis setelah hari itu. Padahal belum lama hubungan keduanya membaik setelah bertahun-tahun lamanya.

Entah kenapa, Shoyo merasa Tuhan senang mempermainkan hidupnya. Kebahagiaan, seolah itu adalah hal tabu untuk dia nikmati. Setiap kali dia bersuka cita pasti akan ada sesuatu yang akan membuatnya kesakitan setelahnya.

Kesakitan yang bermula sejak sembilan tahun yang lalu.

Kapan ini akan berakhir?

Shoyo bertanya dalam hati. Entah kepada Tuhan atau kepada dirinya sendiri.

Harus berapa banyak rasa sakit yang harus aku tanggung agar bisa mengecap kebahagiaan sejatiku?

Ketakutan kj selama bertahun-tahun, bahkan menghantuiku setiap hari.

Aku ingin mati, tapi aku terlalu takut.

Saat kematian Sora, keinginan untuk mati dan menyusul sang ibu, muncul di benak Shoyo. Namun, tidak ada keberanian untuk melakukannya. Sekalipun ada, ia tetap tidak bisa karena memiliki sebuah alasan yang tidak seorang ketahui.

Mengingat alasan itu, seluruh tubuhnya lemas. Benda yang ada di pelukannya terlepas dan jatuh di atas pahanya. Dadanya tiba-tiba berdenyut nyeri seperti ada yang menekan.

Sakit.

Shoyo memejamkan mata merasakan perasaan tersebut kemudian mengucap maaf dalam hati.

'Onee-chan... Maaf. Maafkan Shoyo.'

🏐

🏐

🏐

Matahari sudah bersinar terik diatas langit sana ketika waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi. Itu berarti sebentar lagi kelas akan di mulai, gerbang juga akan segera di tutup.

HIDDEN VOICE || FRIENDSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang