Bab 51 : Melipur Lara

161 15 2
                                    

Vibesnya seperti lagu di atas ya.

Temaram lampu baca membuatku tidak berhenti membaca sebuah buku di atas nakas. Entah kemana perginya Dirga hingga sekarang belum kunjung masuk ke dalam kamar. Tidak mungkin aku meninggalkannya tidur lebih dahulu. Jenuh terus menerus menunggu, perlahan ku langkahkan kaki beranjak keluar.

Canda tawa renyah yang terdengar dari depan televisi membuatku segera bergabung. Rupanya kedua insan itu tengah asyik menikmati sajian drama komedi di televisi. Dirga yang melihatku segera menarik lengan bergabung bersamanya.

"Pasti televisimu hanya sebagai pajangan rumah ini saja, kan,"ucap Dirga membuatku mengangguk pelan.

"Kenapa tidak bilang mau menonton?"tanyaku mengambil biskuit di atas meja.

"Rania tadi ke kamar Bunda. Tapi sedang di kamar mandi. Jadi, Rania kembali lagi,"ucap Rania membuatku mengangguk mengerti.

Mataku menatap drama komedi di televisi hanya bisa menghela nafas pelan. Apa yang lucu dari tontonan ini? Atau dalam hidup ini aku terlalu serius sampai tidak pernah mengalami hal konyol? Bahkan mereka bisa tergelak seirama membuatku bersandar pada sofa.

"Ayah, tontonan ini terlalu receh untuk Bunda,"adu Rania membuatku menggeleng pelan.

"Apa aku yang terlalu serius dalam hidup?"tanyaku.

"Kalau malam ini Ayah berhasil membuat Bundamu tertawa besok pagi, apa yang kamu lakukan?"tanya Dirga.

"Coba dulu, Ayah. Sudahlah, Rania mau kembali ke kamar,"ucap Rania meninggalkan ku hanya berdua.

Tatapan Dirga yang begitu dalam itu membuatku menaruh kedua tangan ku ke wajahnya. Mengapa dirinya malah menatapku penuh dengan pengharapan? Apa ini tentang jamu Bu Dani? Dirga malah tersenyum lebar membuatku segera beranjak pergi.

"Duduklah dulu, Dek,"ucap Dirga membuatku mengurungkan niat.

Layar televisi masih menyajikan iklan komersial menggema mengisi seluruh sudut ruangan. Pria itu menuangkan jus ke dalam gelas yang masih kosong. Sepertinya gelas yang dibawa Rania benar-benar disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga saat ini. Bahkan potongan buahnya juga seolah menyisakan bagian ku.

"Besok pagi masih libur, kan?"tanya Dirga membuatku mengangguk pelan.

"Hari libur ini saya sudah harus menghabiskan waktu bersama Rania seperti janji sebelumnya,"ucapku menegak jus.

"Lebih tepatnya bertiga, Dek. Mari kita kembali pada hakikat sebuah keluarga seharian esok tanpa pekerjaan. Boleh?"tanya Dirga membuatku mengangguk setuju.

Ada perasaan teriris mendengarnya meminta waktu ku untuk keluarga. Tapi begitulah adanya yang terjadi pada keluarga ini. Tidak ada ruang bagi kami dimana ada kata permanen untuk berkumpul dan berteduh layaknya sebuah rumah tangga bagi keluarga lain. Teguran kecil ini hanyalah permintaan tetapi cukup membuatku tersedu.

"Saya baru sadar. Kita tidak pernah punya rumah untuk pulang sebagaimana keluarga lainnya. Kita terus sibuk dengan urusan masing-masing,"ucapku menghela nafas panjang.

"Rumah adalah kondisi ketika merasakan kedekatan keluarga. Saya selalu merasa dekat dengan Rania dan begitupun sebaliknya. Maka rumah itu adalah dimana kamu berada, Dek,"ucap Dirga.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang