🌟 Pembalasan Untuk Star

20 3 0
                                    


Star tampak tertegun sebentar di mejanya, kemudian memandang sekitar. Ke mana kursinya? Tadi ada di sini. Masa baru ditinggal sebentar ke toilet, sudah hilang? Star kemudian menghampiri Risa, gadis berkacamata yang duduk di sebelahnya.

“Lo lihat kursi gue?”

Risa menunduk dalam sambil menggeleng.

“Tapi, dari tadi lo di sini, kan? Harusnya lo lihat,” tembak Star karena dia tahu pasti Risa sedang berbohong.

“Gue nggak lihat. Barusan juga gue keluar kelas kok,” kata Risa. Kali ini melotot pada Star.

Star tidak ambil pusing dengan reaksi Risa. Mungkin dia merasa terintimidasi, makanya dia jadi kesal seperti itu.

“Ada yang lihat di mana kursi gue nggak?” tanya Star, pada teman-temannya yang lain. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang menghiraukannya.

Sebenarnya ini bukan yang pertama. Star memang sudah sering diabaikan, bahkan sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya ke kelas unggulan ini. Itulah sebabnya Star tidak pernah bersemangat untuk pergi ke sekolah, karena di tempat ini, dia tidak memiliki satu orang pun untuk dijadikannya teman.

Star mendengus kesal. Baru saja dia hendak beranjak, seorang guru perempuan datang memasuki ruang kelas. Semua temannya pun langsung mengambil posisi duduk di tempat masing-masing, terkecuali Star. Dia hanya berdiri dengan canggung di balik mejanya.

“Ada apa, Star? Kok kamu nggak duduk?” tanya guru wanita itu sambil menatap Star dengan heran.

“Kursi saya hilang, Bu,” jawab Star, sehingga membuat teman-temannya tertawa.

“Hilang? Kok bisa? Ya sudah, kamu ambil aja ke gudang, ya? Di sana masih banyak kursi kosong.”

Star mengangguk, lantas beranjak.

“Kamu tahu, kan, di mana gudangnya?” tanya guru itu lagi. Star menggeleng pelan.

“Risa, kamu bisa temani Star sebentar?”

Risa tampak tergagap. “Bi-bisa, Bu.”

“Ya sudah, silakan.”

Risa kemudian beranjak, mengikuti Star yang sudah lebih dulu pergi. Di tengah koridor, Risa tiba-tiba berhenti pada saat dilihatnya dari dalam kelas yang mereka lewati, ada seorang cowok menatapnya dengan tajam. Itu sudah jelas, mata-mata Antariksa. Risa nggak mau ambil resiko.

“Gudangnya ada di lantai atas. Nanti ada ruangan yang ada tulisan gudangnya. Lo bisa ke sana sendirian, kan? Gue mau ke toilet soalnya,” kata Risa pada Star.

Star mengangguk, tampak tidak curiga sama sekali. “Ya udah, gue bisa sendiri kok.”

Risa balas mengangguk dan berlari kecil meninggalkan Star. Dia berbelok di ujung koridor untuk pergi ke toilet. Setibanya di depan pintu, Risa memegang jantungnya yang berdetak kencang.

“Ya ampun, si Star mau diapain, ya? Semoga dia nggak kenapa-kenapa. Sori, Star, gue nggak berani ikut campur kalau udah menyangkut anak-anak Antariksa,” gumam Risa, keringat dingin.

Risa nyaris menjerit saking kagetnya ketika seorang cowok muncul di depannya dengan tiba-tiba. Apalagi begitu tahu kalau cowok itu salah satu anak geng terpopuler Antariksa. Jantungnya rasa-rasa mau copot.

“Nih, bawa kursinya ke kelas! Kalau Bu Yola nanya tuh anak ke mana, bilang aja tiba-tiba sakit perut terus dia ijin ke UKS. Ngerti?” kata cowok itu sambil memberikan kursi plastik berwarna merah pada Risa.

“I-iya.” Risa lantas berlari terbirit-birit sambil membawa kursi itu untuk kembali ke kelasnya.

Setibanya di kelas, benar saja kalau guru bernama Yola itu langsung menanyakan keberadaan Star.

“Risa, kok kamu sendirian? Star mana?”

Risa memperbaiki posisi kacamatanya dengan gugup. “Hmm, Star tiba-tiba sakit perut, Bu. Jadi, dia ijin ke UKS.”

Yola mengangguk. “Oh, ya sudah.”

Risa duduk di kursinya setelah menaruh kursi yang dibawanya tadi ke dekat meja Star. Diliriknya tas di atas meja milik Star dengan penuh rasa bersalah.

Setelah hari ini, mungkin besok dia tidak akan melihat Star di sekolah ini lagi. Mereka memang tidak berteman, tapi sebagai sesama anak perempuan, Risa sangat menyayangkan musibah yang menimpa Star. Seharusnya, dari awal, Star tahu, mencari masalah dengan Samudera, adalah petaka. Star bukan yang pertama, melainkan yang kesekian kali. Dan dari kejadian sebelum-sebelumnya, mereka yang mendapatkan kartu merah dari Antariksa, memutuskan untuk pindah dari sekolah ini karena frustasi. Hanya satu yang masih bertahan, yaitu Angkasa. Sampai hari ini, sekalipun Samudera yang langsung turun tangan, Angkasa tidak gentar sama sekali.

***

Ruangan itu gelap, tak berlampu. Pengap dan bau. Baunya juga aneh, seperti bau bangkai binatang. Mungkin ada tikus mati, pikir Star tak begitu peduli. Tapi, seharusnya, ada lampu di sini. Jadi, Star bisa lebih mudah untuk mencari di mana letak kursi yang tadi dibilang Bu Yola. Kalau gelap begini, bagaimana dia bisa menemukannya….

Tapi, tiba-tiba, lampu di dalam ruangan itu menyala, sehingga Star bisa melihat semua isi di dalam gudang tersebut. Bersamaan dengan itu, pintu gudang tertutup tiba-tiba.
Star melangkah mundur dan mencoba membuka pintu, tapi tidak bisa. Star menempelkan daun telinganya ke pintu kayu tersebut. Samar-samar dia mendengar suara tawa dari luar sana. Sepertinya, dia sedang dikerjai.

Mungkinkah ini ulah anak-anak Antariksa?

Star menggedor pintu. “Buka! Buka pintunya!”

Tapi, tidak ada jawaban dari luar.
Star mengelap peluh yang mengalir dari pelipisnya lalu berteriak lagi. “Buka pintunya! Buka!!!”

Bahkan, setelah melakukannya berkali-kali, pintu itu masih terkunci. Star akhirnya menyerah. Dia lalu menatap sekeliling dengan perasaan takut. Di atas tumpukan kardus, dia melihat sebuah plastik hitam yang mencurigakan. Star lalu mendekat dan membukanya.

“Huek!” Star nyaris saja muntah pada saat melihat bangkai seekor tikus ada di dalam sana. Di bawah plastik tersebut, terdapat satu lembar kertas merah bertuliskan, ‘Selamat, Star. Kamu mendapat kartu merah.’

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Are You Ok?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang