"Malam nanti, ada rekan bisnis Papa yang mengundang Papa datang ke rumahnya untuk makan malam." Suara itu memecah keheningan di ruang makan yang diisi oleh dua orang dewasa dan dua remaja laki-laki, yang salah satunya adalah Angkasa, dan seorang anak perempuan berusia lima tahun.
"Oh." Istrinya, Mikayla, menanggapi, "Terus, apa kita semua akan datang, Pa?"
Roy mendongak. "Enggak semua. Ini semacam perkenalan calon pemegang saham perusahaan kita di masa depan. Jadi, Papa akan meminta Mama dan Rama untuk ikut. Rama harus belajar bisnis mulai sekarang."
Angkasa sama sekali tidak merasa terganggu dengan perkataan itu. Bahkan, ketika Rama, adik laki-lakinya yang berusia dua tahun lebih muda darinya itu menoleh menatapnya, Angkasa tetap makan dengan tenang.
"Kenapa aku, Pa? Kan, ada Kak Angkasa. Aku juga baru masuk SMA, kan," protes Rama. "Kak Angkasa, kan, tahun depan lulusan. Kenapa nggak dia aja?"
Roy menjilat bibirnya sejenak, lalu menaruh sendok ke piringnya yang menyisakan beberapa butir nasi dan tulang ayam.
"Kakakmu sedang sibuk mengurus sesuatu. Jadi, nggak bisa diganggu."
Mikayla tersenyum pada Rama. "Iya, Rama. Gantian ya sama Kak Angkasa. Masa dia terus yang harus belajar. Kamu juga dong."
"Tapi, aku nggak mau jadi pengusaha. Aku mau jadi pemain sepakbola."
Air muka Roy mengeras, menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tengah berusaha menahan emosi.
"Nggak ada tapi-tapian. Nanti malam, kamu ikut sama Papa dan Mama!"
Angkasa menaruh gelas yang baru diteguk isinya, kemudian berdiri. "Aku ke kamar dulu, ya," pamitnya.
Mikayla mengangguk sambil berkata, "Jangan lupa minum obatnya, Sayang."
***
Angkasa menyandarkan tubuhnya di pagar balkon. Pandangannya lurus menatap rumah-rumah yang berada di luar pagar rumahnya yang menjulang. Ia mengembuskan napas lalu mendecakkan lidah.
Selalu saja....
Ia merasa tertekan setiap kali ada obrolan semacam itu. Bisnis dan masa depan.
Angkasa tak menyukai yang pertama, dan tak juga memiliki yang kedua.
"Kak?"
Suara itu membuatnya menoleh ke belakang. Rama tersenyum padanya di ambang pintu kamar.
"Nanti sore aku ada tanding bola. Kakak bisa datang, nggak?"
Angkasa tersenyum. "Ok."
Rama bergeming sesaat, menatap Angkasa dengan perhatian penuh, seakan-akan dia sedang mencari tahu sesuatu.
"Are you ok?"
Angkasa mengangguk. "Ok."
"Jangan lupa minum obatnya."
"Siap, Bosque!" sahut Angkasa dan tertawa kecil.
Rama membalas dengan tawa yang sama, sebelum akhirnya pergi sambil menenteng sebuah bola.
Angkasa mendesah, dan kembali melihat-lihat pemandangan di depan balkon kamarnya pada pagi hari sebelum ia berangkat sekolah. Rumah-rumah biasa itu terlihat nyaman. Samar-samar, Angkasa bisa mendengar suara tawa beberapa wanita paruh baya dari tempatnya berdiri. Ada juga suara anak-anak yang beberapa saat kemudian Angkasa lihat berlarian menuju jalan raya di depan rumahnya. Anak-anak SD, rupanya.
Tatapannya tahu-tahu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang paling dekat dengan pagar rumahnya. Bahkan, jaraknya hanya ada sekitar lima meter dari balkon kamarnya. Selama beberapa minggu ini, Angkasa suka melihat ke sana, pada jendela yang terbuka, pada seorang gadis seusianya yang beberapa detik kemudian muncul di sana.
Seperti biasanya, meski langit sedang cerah, mata gadis itu menyimpan mendung yang amat pekat.
Dulu, rumah bercat hijau itu sudah lama kosong, sekitar lima tahunan. Dan sejak penghuni baru datang, Angkasa sekarang punya sesuatu yang untuk dilihat. Tak lagi rumah kosong, yang konon katanya berhantu, melainkan lampu kamar yang senantiasa menyala sampai larut malam, dan juga.... seraut wajah manis namun menyimpan banyak kisah pahit.
Angkasa menjadi saksi tangisnya yang selalu bersenandung di tengah malam.
Tiba-tiba, tatapan mereka bersirobok. Gadis itu bergeming, walaupun Angkasa sudah menyunggingkan sebuah senyum. Beberapa detik kemudian, gadis itu menutup jendela kamarnya, seakan tidak membiarkan Angkasa melihat ke arahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You Ok?
Teen Fiction@Copyright 2023 ~ Star dulunya gadis ceria, penuh mimpi, dan senantiasa bahagia. Akan tetapi, setelah meninggalnya sang ayah di usianya yang masih sepuluh tahun, hidupnya berubah, menjadi kelam, penuh tangis dan keputusasaan. ~ Angkasa selalu dijulu...