🌟 Bintang Samudera

86 16 6
                                    

Soundtrack : Someone You Loved

***

"Ma... Mama minum lagi?"

Samudera mendekati ibunya yang duduk di depan meja bar dekat dapur. Ada satu botol minuman keras di atas meja dan satu buah gelas kosong di genggamannya.

Beberapa tahun terakhir ini, beginilah pemandangan yang selalu dilihatnya jika pulang ke rumah pada malam hari. Apalagi jika papanya sedang tidak ada di rumah karena harus dinas ke luar kota.

"Kenapa? Nggak suka?" tanya ibunya ketus tanpa meliriknya sedetik pun.

"Mau sampai kapan, Ma?"

"Sampai mati."

"Mama mau mati sia-sia?"

"Alah, kalau mati ya mati aja. Nggak ada istilahnya mati sia-sia." Ibunya mengambil sebatang rokok dari bungkusan di samping botol. Pada saat ia akan membakar ujungnya dengan pemantik, Samudera merampas benda itu dari tangannya.

"Sam!"

"Udah, Ma! Cukup!"

Sebuah tamparan keras sebanyak tiga kali mendarat di wajah Samudera. Perih, seperti biasanya.

Selalu saja.

Berakhir seperti ini.

Kekerasan adalah cara terbaik untuk membuat seseorang berhenti bicara. Itu yang Samudera pikir, selama ini.

"Pergi kamu! Ganggu aja!" Ibunya merebut pemantik dari tangan Samudera. "Ngapain masih di sini? Sana, pergi!"

Samudera menggertakkan giginya, lalu berbalik.

"Awas ya kalau kamu bilang-bilang sama Papa kalau Mama masih minum dan merokok!"

Samudera tidak menjawab. Dan saat itulah sebuah benda meluncur ke kepalanya sehingga menimbulkan rasa sakit. Saat Samudera menoleh ke bawah, barulah ia tahu kalau benda itu adalah remote TV.

"Kamu punya kuping nggak?"

Samudera mengangguk.

"Punya mulut?"

Seharusnya Samudera mengerti. Ibunya sedang mabuk. Ia tidak harus merasa sakit hati dengan ucapan dan perlakuan kasarnya.

"Iya, Sam nggak akan bilang-bilang."

***

Anak laki-laki nggak boleh nangis.

Samudera selalu berusaha menerapkan kalimat itu dalam hidupnya. Namun, sejak bertahun-tahun yang lalu, saat air matanya jatuh akibat kehilangan sang ayah, ia tidak bisa berhenti menangis pada waktu-waktu tertentu, seperti hari ini.

Samudera merasakan kesedihan yang amat dalam setiap kali melihat ibunya memperlakukannya dengan kasar. Menampar, memukul, bahkan tak jarang Samudera mendapat sulutan api rokok di tangannya jika ia membuat ibunya tersinggung.

Entah apa yang salah. Ibunya berubah sejak lima tahun yang lalu. Ia tak lagi menjadi seorang ibu yang penuh kasih sayang. Tatapannya selalu tajam, melukai hati Samudera.

Setetes air mata jatuh ke pipinya pada saat ia merasakan luka di jiwanya mengaga.

"Bangsat!" sesalnya.

Ia seorang anak laki-laki. Air mata adalah lambang kelemahan. Ia bukan orang yang lemah. Ia kuat, itu sebabnya semua orang merasa takut padanya di sekolah maupun di luar sana. Apa kata mereka kalau sampai mereka tahu seorang ketua geng Antariksa yang populer diam-diam sering menangis di kamarnya?

Tidak ada yang boleh tahu.

Air matanya, selalu akan menjadi rahasianya.

***

Keesokan paginya, ketika ia keluar kamar, ia mendapati seorang pria berbadan sehat duduk di ruang makan bersama sang ibu.

"Selamat pagi, Sayang," panggil ibunya dengan penuh perhatian.

Samudera meliriknya. Sosoknya berbeda dengan dirinya malam kemarin. Rambutnya tak lagi berantakan, pun dengan wajahnya. Ia terlihat cantik dengan semua yang dikenakannya pada pagi ini. Samudera tak perlu mencari tahu apa sebabnya, karena kehadiran pria yang kini tengah tersenyum ke arahnya sudah menjadi jawabannya.

Ayah tirinya baru saja pulang dari luar kota.

"Papa kapan pulang?" tanyanya, basa-basi seraya duduk di kursi samping ibunya.

"Baru setengah jam yang lalu. Gimana rumah? Aman selama Papa tinggal?"

"Aman," jawab Samudera singkat.

Selama beberapa saat, hening menyergap, sampai ayah tirinya itu kembali bicara.

"Gimana dengan sekolahmu?"

Jawaban seperti apa yang dia mau tahu?

"Baik."

"Tahun ini kamu harus lulus, Sam. Papa nggak mau dengar kalau kamu nggak lulus seperti tahun lalu. Jangan kebanyakan main-main."

Samudera menganggukkan kepalanya. "Iya, Pa."

"Kalau perlu, kamu cari tempat kursus di luaran. Atau, cari guru private buat ngajarin kamu di rumah."

"Nanti biar Mama yang cari, ya, Pa." Ibunya menimpali dan tersenyum hangat.

Ah, bagaimana bisa ia terus berpura-pura bahagia seperti itu? Benar-benar Drama Queen.

"Pokoknya, Sam harus lulus tahun ini. Jangan malu-maluin orangtua. Papa juga nyari duit buat bayarin sekolah kamu. Belum lagi jadi donatur. Bikin Papa bangga dong sekali-kali. Itu juga geng-geng di sekolah bubarin kalo perlu."

"Sam berangkat dulu." Samudera beranjak, tanpa menyentuh sarapannya terlebih dahulu.

"Payah. Punya anak laki-laki satu kok susah diatur!"

"Sabar, Pa. Anak laki-laki kan emang gitu."

"Bulan mana? Kok dari tadi Papa belum ada lihat dia."

"Bulan masih tidur. Sebentar lagi juga bangun, kok."

***

Are You Ok?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang