°Ivan POV°
"Err, van? Gu-gue beneran minta maaf, tapi bisa gak lu kasih tau kenapa lu marah?" ucap Andy didepanku.
"Gue gak marah kok." ucapku sambil membolak balik halaman bukuku.
"Apaan, dari tadi lu kacangin gue. Cepetan kasih tau! Lu marah kenapa?"
Udah jelaa gue marah gara gara lu lebih merhatiin cowok basket tadi siang!
-Tadi Siang-
Aku dan Andy berjalan melewati lapangan, dan entah mengapa ada bola basket yang menggelinding keluar dari lapangan itu. Andy dengan cepat mengejarnya, mengambilnya lalu membawanya masuk kelapangan.
"Ah, thanks." ucap seorang laki laki dengan rambut bergelombang sambil mengenakan pakaian basket disana.
"Sama sama." balas Andy.
Dan ketika andy hendak menghampiriku yang ada di ambang pintu masuk lapangan, laki laki itu menarik tangan Andy dan membuat jarah mereka berdua menipis.
Aku langsung menyernyit jengkel. Siapa dia?! Berani beraninya megang megang Andy gue!!
"Hei, lu yang waktu itu pengen gabung basket kan?" ucap laki laki itu.
"Eh? Ah! Lu kakak kakak yang waktu itu ya?" ujar Andy dengan senyum.
"Lu masih inget?"
"Iya dong. Oh iya, ngomong ngomong, yang waktu itu makasih banget ya kak. Diikut sertain jadi pemain dadakan."
"Hahaha, ya kan kebetulan kamu ada disana dek, jadi tertolong deh tim kita."
Kok mereka berdua jadi akrab gitu sih?!
"Oh iya, itu temen lu?"
"Ng?"
"Dia yang berdiri di ambang pintu sambil natap kaya teroris itu tuh." tunjuk laki laki itu padaku.
"Oh, dia sepupu. Namanya Ivan, baru pulang dari Irlan."
"I-irlan? Wess, keren. Woi, bro! Jangan kaya tuyul disitu! Sini ngobrol bareng!"
Ish, ogah!!
"Gue ke kelas duluan." kataku sambil berjalan pergi.
"Eit! Tunggu, Ivan!"
-Begitulah-
Dia masih bingung menatapku, padahal aku sudah menjelaskannya. Lalu dia seakan baru sadar, menjentikkan jarinya lalu berkata...
"Oh, lu pasti marah karena kita nggak jadi ke kantin ya?" katanya.
Aku hanya menghela nafas panjang, lalu beranjak kembali ke kamar.
"Tunggu!" dia menarik tanganku, "Urusan kita belum selesai, Van. Lu jangan kaya anak perawan ngapah, ngambek gak jelas gini!"
"Ett, dibilang gue gak marah ma lu, udah gue pengen tidur!" aku mengibaskan tangannya dengan keras, lalu berjalan ke kamarku.
Menaruh buku yang kupegang di meja, dan menutup pintu dan melempar diri ke atas kasur empuk yang senggang itu.
Ugh, kok tu anak nggak peka sih? Apa harus gue bilang blak blakan gitu ke dia? Padahal tadi udah gue jelasin panjang lebar.
Aku mulai menutup mataku. Membiarkanku sedikit demi sedikit memasuki alam mimpi.
Namun, ternyata berhenti ditengah jalan.
Karena, baru 20 menit, aku merasakan sesuatu melingkar dipinggangku dan saat aku mengintip aku mendapati Andy disampingku, memelukku.
"Van... Please. Maaf, gue minta maaf."
Gu-gue pengen bangun tapi susah, pengen lanjutin tidur tanpa dengerin ocehan dia tapi penasaran.
"Kok lu jadi sensitif gini sih? Kita kan dari kecil gak pernah marahan.. "
Dia semakin mendekatkan dirinya, aku kemudian mendengar suara isakan yang semakin mengecil.
Ketika suara isakan itu hilang, aku membuka mataku dan menghadapnya. Mendapati ia yang sudah tidur dengan air mata yang membasahi pipinya.
Aku mengusapnya dengan lembut, lalu memeluknya. "Gue gak marah sama lu, Andy. Gue marah sama laki laki yang sok akrab ama lu." gumamku.
-Esok Paginya-
"Andy! Andy! Bangun dah pagi!" bentakku sambil menggoncang goncangkan badannya.
"Ugh, ya..."
Dia bangun, mengusap matanya, lalu menatapku heran.
"Kok gue ada di kamar lu?" tanyanya.
Aku menyernyit, "Ha?"
"Setau gue, gue tidur sambil meluk guling loh."
Aku menghela nafas panjang, lalu beranjak mandi. Namun, ia menarik baju belakangku.
"Apa?" gumamku tanpa menoleh ke arahnya.
"Gue tau kenapa lu jutek dari kemarin."
Deg! Di-dia tau?!
"Lu pasti kesel gara gara dikatain Tuyul ama kakak yang kemaren kan?"
Aku mengerjap, menoleh padanya lalu berkata, "Seterah lu."
Ugh, ni anak, bener bener nggak peka ya..