Bagian 1

206 35 5
                                    

"Kian, bisa bicara sebentar?"

Laki-laki bertubuh jangkung yang tengah terduduk lemas di ruang tunggu keluarga pasien di depan kamar rawat inap itu mendongak ke atas, melihat dokter yang menangani ibunya sudah keluar dan kini berdiri di depannya.

Kian Alvarendra, itu nama pria yang sekarang mengikuti langkah dokter menuju ke ruangan dokter tersebut karena butuh bicara di ruang tertutup.

Dokter memberikan satu amplop Rumah Sakit, hasil pemeriksaan ibunya yang sudah hampir satu minggu ini dirawat di Rumah Sakit karena ginjal yang bermasalah.

"Ini hasil laboratorium dan hasil pemeriksaan menyeluruh Ibu Anita, ginjalnya memburuk dan harus segera dilakukan operasi transplantasi. Ibu kamu naik menjadi prioritas ketiga penerima donor ginjal di Rumah Sakit kami, tapi itu tidak bisa menjamin hidup ibu kamu akan membaik karena kalau hanya mengandalkan donor dari pasien mati otak itu akan sangat lama." penjelasan dari dokter Aditama yang tidak bukan adalah adik kandung dari ayah Kian yang sudah lama meninggal ini tentu mengarah untuk mendesak Kian agar laki-laki itu lebih cepat mengambil keputusan.

Kian sangat bingung harus mencari uang darimana ia bisa mendapat sebanyak itu untuk membeli organ ginjal dengan dana sendiri, belum lagi biaya operasi transplantasi yang akan menguras habis-habisan uang tabungannya.

"Saya ngga megang uang banyak om, hanya cukup untuk membiayai biaya operasi ibu, itu juga saya ngga tau harus gimana kalo semua tabungan saya dipakai." keluh Kian sudah hampir menyerah karena tanah warisan ayahnya yang ada di Semarang sudah coba Kian jual tapi belum menemukan pembeli sampai sekarang.

"Tapi ibu kamu harus sesegera mungkin dioperasi,"

"Ngga bisa diusahakan untuk mengulur waktu om? Seengganya sampai tanah warisan ayah sudah terjual."

Dokter Aditama membantah ponakannya, "Tidak bisa diusahakan Kian, ini sudah bersifat harus." beliau terkesan sangat menekan Kian agar secepatnya mengurus administrasi operasi sang ibu, tetapi pada kenyataannya kondisi Bu Anita sendiri sudah cukup parah dan harus segera dilakukan operasi cangkok ginjal, kalau tidak dilakukan secepatnya, akan muncul kemungkinan fatal yang berakibat kematian.

Kian hanya menganggguki perkataan omnya sembari berpikir keras setelah  keluar dari ruangan dokter langkahnya akan ia bawa kemana.

Biaya operasi transplantasi tidak murah, belum lagi dia butuh donor ginjal yang tersedia untuk ibunya dan itu bukan perkara gampang.

Akhirnya Kian memutuskan bertemu dengan Fano, teman kuliahnya yang kini sudah bekerja di salah satu perusahaan pengelola hasil bumi. Keduanya bertemu di kediaman Fano yang lokasinya cukup jauh dari Rumah Sakit.

Fano menyambut Kian di ruang tamu sudah dengan banyak makanan ringan di atas meja yang sengaja Fano siapkan untuk tamunya kali ini.

Sebelum datang, Kian sudah lebih dulu menjelaskan pada Fano bahwa dirinya sedang membutuhkan uang dalam jumlah besar dan laki-laki itu menawarkan tanah yang dimilikinya hasil warisan ayah.

"Nyokap lo harus dioperasi?"

Kian mengangguk, tidak berkata banyak karena dia sudah lemas dengan pikiran yang kemana-mana.

"Kira-kira totalnya berapa, Yan?" tanya Fano memastikan.

"Paling ngga gue butuh satu miliaran lagi, No." jawab Kian pelan, Fano melihat iba pada sahabatnya yang diuji dengan keadaan seperti ini.

"Kalo duit segitu gue ngga punya, Yan. Gue cuma punya tiga ratusan kalo lo mau, lo ngga perlu jual tanah lo ke gue. Ambil aja duit gue dulu, ngga usah mikirin kapan lo mau bayar." ujar Fano yang diberi penolakan dari Kian.

Just MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang