Part 7: Buy 2 Get 1

4 1 0
                                    


. . . . . . . . . .

Mata Diven daritadi melirik pintu cafe tidak tenang. Entah apa yang menganggunya sampai pekerjaannya tidak dilakukannya dengan benar. Dia mengelap meja yang baru saja ditinggalkan pelanggannya. Memindahkan mangkuk dan gelas kotor keatas nampan lalu membawanya ke dapur, menaruhnya di wastafel, dan mencucinya. Setelah bersih, dia menaruh di tumpukan mangkuk dan gelas bersih yang ada disebelah kanannya.

Kakinya mengarahkannya ke meja kasir. Dia tidak melakukan apa-apa, hanya memandangi pintu cafe yang daritadi tidak menunjukkan tanda-tanda akan digerakkan oleh tangan manusia. Akhirnya dia menyerah melakukan hal yang paling tidak disukai siapapun, menunggu. Diven melirik sekilas lelaki yang memperbaiki lipatan lengan bajunya yang melorot disampingnya.

"Ven, lo bener udah bilang ke Mica buat datang ke cafe hari ini?"

Lelaki yang dipanggil itu hanya berdehem tanpa berpaling dari lengan bajunya, menjawab pertanyaan teman SMA-nya. Diven tidak puas dengan jawaban itu, dia pun mengulang pertanyaannya tadi.

"Beneran udah?"

Venus melirik ke arah Diven dan menatapnya malas. "Udah berapa kali lo nanya ini, Adrhas? Dari pagi gue jawab udah, masih belum puas?" jawab Venus memanggil Diven dengan nama belakangnya.

Lelaki yang memiliki nama lengkap Diven Adrhas itu masih bersikukuh kalau Venus lupa memberitahu gadis-gadisnya untuk datang ke cafe hari ini. "Belum, mereka belum datang sampai sekarang."

"Lo kenapa? Kangen banget sama Mica? atau Lianka?"

"Kangen? Engga. Ya, gue mau ketemu temen baru?" cicitnya pelan.

"Tunggu aja si? Mereka gak dateng sekarang kan masih ada besok." Venus melirik pintu cafe yang berdecit seolah sengaja memotong pembicaraan dua waiter itu dan memberitahu ada pelanggan yang harus mereka layani. Di depan pintu kini dua sosok perempuan yang sedang berjalan ke arah mereka.

Diven yang mendengar pintu cafe terbuka itu pun ikut melirik. Hatinya hampir menjerit senang menyangka kalau yang datang adalah orang yang dia tunggu sejak pagi. Sayangnya, itu bukan Mica atau Lianka ataupun keduanya, melainkan dua bocah SMA yang baru saja pulang sekolah.

"Minggir lo, ada pelanggan." usir Venus.

Pintu cafe mengeluarkan bunyi lagi, Diven yang sudah pasrah tidak lagi memutar kepalanya ke arah pintu. Dia berjalan lemas masuk ke dapur untuk membuat pesanan dua siswi SMA tadi. Tapi, langkahnya terhenti didepan pintu dapur saat telinganya menangkap suara yang sudah beberapa hari tidak ia dengar.

"Halo, Ven!" sapa suara itu kepada Venus.

Diven membalikkan badannya dan berjalan cepat menuju sumber suara yang semakin dekat. Bibirnya tersenyum sumringah menyambut dua teman barunya.

"Mi! Lo kok lama banget datengnya?" tanyanya excited. Matanya beralih melihat Lianka yang berjalan lemas dibelakang Mica. "Lo kenapa, Li?"

"Hai, Div. Gue abis nemenin Lianka ketemu dosennya," Mata Mica sibuk memperhatikan meja tempat biasa dia duduk sudah ditempati pelanggan lain.

"Terus Lianka kenapa lemes? Ada masalah?"

"Nanti gue ceritain," Mica menelisik seluruh sisi cafe untuk mencari meja kosong yang nyaman. "Mau duduk dimana, Li?"

Lianka yang sangat lemas bahkan tidak bisa lagi menompang tubuhnya hanya mengedikkan bahunya. Dia meraih lengan Mica lalu menggandengnya dan menumpukan badannya kepada Mica.

"Disana aja deh," Mica memilih meja yang berada di sebelah kiri pintu masuk tepat disampingnya terdapat jendela yang menghadap ke parkiran cafe. Langkah kakinya diikuti oleh Lianka dan Diven.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SENAVITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang