Orang bilang jika cinta dan obsesi itu beda tipis. Dan sepertinya memang benar ... bahkan Renjun merasakannya. Tidak, ia tidak sedang membicarakan dirinya sendiri. Tapi ....Kekasihnya.
"Sayang, mau pesan apa nanti?"
Seorang pria bertubuh tegap dan kekar dengan hidung bangir mancung bernama Lee Jeno itu menengok pada sang kekasih yang bergelayut di lengannya.
"Aku tidak tahu Jen, rasanya aku sudah sangat kenyang." jawab Renjun dengan lirih. Ia berjalan pelan dengan bersandar pada bahu kokoh Jeno menuju kantin.
Sesaat setelah mereka sampai di kantin, Jeno sedikit mengedarkan pandangannya. Mencari bangku kosong yang mungkin bisa ia tempati bersama kekasihnya.
Lalu mata tajam nan sipit bak elang itu menemukan satu meja dengan tiga kursi yang terlihat kosong, tampaknya baru saja ditinggalkan oleh siswa yang mulanya duduk disana.
Segera saja Jeno merengkuh pinggang ramping Renjun, "Aku menemukan meja kosong disana, ayo."
Renjun hanya mengangguk patuh, tidak ingin protes ataupun membantah Jeno.
"Nah, duduklah disini. Aku akan memesan makanan untuk kita. Ah ya, aku tidak menerima alasanmu. Kau harus makan, atau kalau tidak ...." Jeno tersenyum tipis dengan tatapan tertuju pada netra sang pujaan yang sedikit bergetar, "kau yang akan aku makan seperti tadi malam. Mengerti, hum?" Jeno sedikit membungkuk, menatap lekat Renjun dengan berbisik lirih, melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya.
Lalu pria itu menegakkan tubuh, pergi tanpa berkata apapun lagi. Menyisakan Renjun yang menelan ludahnya gugup setengah mati. Ingatannya jatuh pada adegan malam tadi, dimana Jeno menyetubuhinya dengan tidak manusiawi.
Bahkan ketika ia memohon untuk berhenti, Jeno justru malah semakin menekan tubuhnya, mencapai titik terdalam Renjun."Hey, apa yang kau lamunkan?"
Sesosok pria datang mengejutkan Renjun hingga ia tersadar dari lamunannya. Dan saat melihat siapa sosok itu, dirinya langsung panik seraya menatap sekeliling.
"Pergilah, atau kau akan habis oleh Jeno!" Renjun memekik pelan, menyuruh orang yang kini duduk didepannya untuk pergi secepat mungkin. Sesekali netranya melirik Jeno yang masih sibuk mengantri.
Mark mengernyit heran, "Kenapa memangnya? apa itu masalah? aku hanya ingin duduk bersamamu disini."
Renjun menggeleng.
"Wah, ada apa ini?"
Deg!
Jantung Renjun rasanya ingin loncat dari tempatnya. Tepat disampingnya, Jeno telah kembali dan pria itu duduk dengan santai seolah tak merasa keberatan dengan kehadiran Mark.
Sementara itu Mark yang merasa jika Jeno bertanya padanya pun hanya terkekeh, "Tidak ada, aku hanya ingin duduk disini. Tak apa kan?"
Renjun menunduk, menatap takut-takut ke sampingnya, lalu terkejut saat melihat Jeno yang mengangguk.
"Tentu. Bahkan kita bisa makan bersama. Bukan begitu, sayang?"
Bisa ia lihat Jeno tersenyum menatapnya. Namun yang sangat menggangu perasaannya adalah senyuman itu ... senyuman mematikan seorang Lee Jeno.
Dan Renjun tahu artinya. Jadi ia memilih untuk mengangguk, dan pasrah akan apa yang terjadi nanti.
Sedangkan Jeno menggeram dalam hati sembari menyantap makanannya yang terasa hambar entah mengapa.
_____Suasana hening terasa didalam sebuah mobil yang kini melaju dengan kecepatan tinggi. Seseorang yang duduk dikursi samping kemudi itu bahkan hanya bisa memejamkan matanya erat-erat, bahkan tubuhnya meremang merasakan aura kegelapan yang menguar dari tubuh pria disampingnya yang tengah mengemudi itu.
Hingga beberapa menit kemudian, mobil itu terparkir dan keduanya turun. Berjalan berdampingan dalam diam, bahkan ketika mereka sampai di sebuah rumah yang terlihat sepi.
Jeno menghentikan langkahnya, membalikkan badan dan menatap Renjun yang menunduk.
"Sudah tahu kan hukuman untukmu?" Jeno memasukkan kedua tangannya didalam saku seraya tersenyum miring.
Renjun bergetar, mengangguk singkat sebelum jari-jarinya mulai melepaskan seluruh kain yang melekat pada tubuhnya.
Pria bak rubah itu memejamkan mata setelah seluruh tubuhnya terekspos dihadapan sang kekasih.
Jeno tersenyum puas, lalu melepas sabuknya dan mengikatkannya pada kedua tangan Renjun dari belakang. Ia berbisik sensual, "Kali ini akan sangat nikmat. Jauh lebih enak dari seks kita sebelumnya."
_____"Ah ah ah ... mhhh, oh sakit ...." Tubuh mungil berkeringat itu menggeliat resah, merasakan sebuah vibrator yang bergetar cepat didalam lubangnya. Sensasi itu bertambah saat kulitnya langsung bersentuhan dengan dinginnya lantai.
Posisi Renjun kini duduk dengan bersimpuh melipat lututnya, dengan tangan teringat ke belakang. Kepalanya senantiasa menunduk namun sesekali akan mendongak ketika akan orgasme.
Jeno yang sedari tadi menyaksikan dari atas ranjang sembari mengocok kejantanannya hanya diam, mendesis lirih seraya memandangi tubuh eksotis kekasihnya yang terduduk dilantai.
"Nghhh Jeno ... sudah, aku lelah ... hentikan- ah ah shhh uhhh lelah ...."
"Tidak, ugh ... tunggu sampai aku keluar. Tanganku tidak senikmat tanganmu, sayang. Bersabarlah, itulah hukuman untukmu."
Renjun hanya pasrah, tubuhnya mulai melemah karna terus mengeluarkan cairan yang membuatnya nikmat namun kehabisan tenaganya secara bersamaan.
Diatas ranjang, Jeno semakin mempercepat kocokannya lalu mendesah dalam saat orgasmenya datang. Memuncratkan cairan kental itu ke arah punggung Renjun yang membelakanginya. Membuat sang kekasih melenguh merasakan hangat yang mengenai punggung telanjangnya.
Jeno berdiri, dengan nafasnya yang sedikit memburu. Ia berjongkok dihadapan Renjun, mengangkat dagu kekasih mungilnya itu dengan satu jarinya. "Maaf jika aku terkesan seperti maniak sekarang. Tapi entah mengapa, aku bahkan tidak menyukai saat ada seseorang pria selain aku yang berada di dekatmu. Maka dari itu aku melakukan semua ini. Aku ingin terus bersamamu, apapun caranya. Aku ingin mengikatmu dengan apa yang telah aku lakukan. Aku mencintaimu, Renjun."
Dengan itu bibir keduanya menyatu, bersamaan dengan Jeno yang melepaskan ikatan sabuk yang melilit pergelangan tangan Renjun. Dengan lembut ia tarik tangan halus itu setelah melepaskan ciumannya.
"Berjanjilah untuk terus menjadi milikku, karena kini jiwa kita telah menyatu. Banyak malam telah menjadi saksi bisu betapa cinta kita begitu besar bahkan membara bersama gairah disetiap sentuhan yang saling kita berikan." Jeno berujar pelan, mengecup kedua telapak tangan Renjun lalu tersenyum.
Kedua pipi pria manis itu merona, "Aku ... berjanji."
Lantas keduanya kembali berciuman. Hanya ciuman lembut, yang sama-sama mereka jadikan sebagai realisasi perasaan yang kini mereka rasakan.
Obsesi dan cinta ... memang beda tipis.
Menghalalkan segala cara agar yang dicinta tetap berada bersamanya.
Itulah Jeno kepada Renjun.
END