"Tidak! aku tidak akan menandatangani surat perceraian itu!"Seorang pria manis berteriak penuh amarah pada orang didepannya.
"Kau egois, Renjun! setelah apa yang kau lakukan di belakangku, kau ingin tetap mempertahankan aku? apa mau mu? aku suamimu, dan aku sudah berusaha untuk sabar sedari dulu. Tak tahukah kau seberapa banyak lara yang kurasa?" Renjun seketika berkaca-kaca, merasakan sesal luar biasa saat sang suami berkata seperti itu. Sebegitu jahatkah dirinya?
"J-jeno ... maafkan aku, hiks!" Pria manis itu bersimpuh dibawah kaki suaminya.
Yang disimpuhi terkesiap kaget, berusaha untuk mengangkat tubuh mungil sang istri supaya kembali berdiri. "Jangan seperti ini, Renjun-ah. Berdirilah," ucapnya.
"Maafkan aku, Jeno. Hiks hiks, m-maaf ... jangan ceraikan aku, aku masih membutuhkanmu ...." pinta Renjun dengan begitu lirih.
Jeno yang mendengarnya lantas tersenyum, memeluk Renjun dengan penuh sayang guna menenangkan perasaannya. "Tak apa, sayang. Aku pun tidak bersungguh-sungguh ingin menceraikanmu. Karena aku, masih amat sangat mencintaimu."
Istrinya hanya terdiam, lalu dengan gerakan cepat memandang Jeno dengan ekspresi menggemaskan.
"Benar?" Jeno mengangguk.
"Tentu saja, Renjun. Kenapa?"
"Buktikan padaku. Buat aku hamil, Jeno. Sudahi semuanya. Aku ingin mengandung benihmu, melahirkannya, merawatnya, membesarkannya bersamamu. Jangan dengarkan orang lain, tatap aku. Ini tentang kita, bukan mereka." Renjun berucap lebar dengan mata berapi-api.
"T-tapi ...."
"Tapi apa, Jeno? sampai kapan kau terus mempercayai omongan mereka? kita bisa! ayo kita buktikan jika cinta diantara kita begitu besar dengan hadirnya sikecil dalam perutku."
Kedua netra itu berusaha menyakinkan sang suami. Kali ini, ia harus berhasil dibuahi. Dia sudah muak digunjing karena tak bisa memberikan keturunan.
Renjun bisa, namun Jeno yang selalu menghindar karena ia tak ingin melakukannya tanpa cinta. Sudah 2 tahun, dan Renjun benar-benar bosan. Ia punya birahi yang harus dipuasi, dan hanya Jeno yang layak menggagahi.
Selama ini ia menyimpan semua perasaannya yang sesungguhnya. Memang, diawal ia begitu membenci pernikahannya yang didasari oleh perjodohan. Tapi sekarang, ia akan maju paling depan jika ada yang ingin memisahkan dirinya dengan Jeno.
'Enak saja! aku belum merasakan kejantanannya, jadi dia tak akan kubiarkan lolos setelah membuatku jatuh sebegitu dalamnya.' batin Renjun.
Jeno menatap kedua mata sang istri lamat-lamat, sebelum mengangguk yakin.
Cup!
"Mphhh!!!" Renjun yang kaget pun refleks membuka lebar matanya serta sedikit mengerutkan keningnya. Lalu tak berselang lama, ia memejamkan matanya; terlihat menikmati.
Beberapa detik diposisi itu, Jeno akhirnya mulai bergerak perlahan menyesapi dua belah bibir merah sang istri. Tangan berototnya ia bawa merengkuh pinggang mungil Renjun, menariknya supaya mendekat hingga tubuh keduanya menempel.
Ciuman yang awalnya hanya melibatkan bibir antar bibir, kini beralih pada leher jenjang Renjun.
Bisa Jeno lihat Renjun menggigit bibirnya dengan mata terpejam erat, menahan desahan yang akan keluar.
"Jangan ditahan, Renjun. Aku ingin mendengarmu mendesah," bisik Jeno seduktif.
"Ah Jenohhh ...."
Yang disebut namanya tersenyum miring, merasa puas saat namanya didesahkan dengan begitu erotis.
"Kita pindah ke kamar."
_____"Ah ah ah ah, mmmhhh ... uh J-jenohhh, pelan-pelan hiks! uhh ...."
Tubuh Renjun terlonjak begitu hebat, seirama dengan tempo Jeno yang bergerak begitu cepat. Sudah hampir setengah jam, dan Jeno belum mencapai pelepasannya.
"Ngh! hhh, kau nikmathh Renjun."
"Anghhh Jenohhh ... uh!"
Mulut Jeno tak tinggal diam. Ia menunduk, memanggut lembut bibir Renjun yang tampak membengkak. Tangan kanannya ia gunakan untuk memilin puting sang istri secara bergantian, meraba, mengelus, meremasnya secara perlahan.
Dan itu berhasil membuat Renjun kalang kabut, pening begitu dahsyat atas kenikmatan yang tubuhnya rasakan. Apalagi ketika tangan kasar Jeno turun membelai tubuh bagian bawahnya hingga sampai pada penis mungil tegang miliknya. Mengurutnya pelan sebelum mengocoknya dengan tempo sedang.
"A-akuhh ... sampaihhh ...."
"Keluarkan untukku, sayang."
Nafas Renjun nampak tak beraturan, berusaha menyesuaikan gerakan pinggul Jeno yang kian brutal padahal dirinya baru saja mencapai puncak.
Ini sudah klimaks ketiganya dalam waktu setengah jam, dan Jeno sama sekali belum mendapat satu pun.
"Ugh! cepathhh Jeno- AH AH AH!"
Renjun mendesah keras saat tiba-tiba tubuhnya berbalik menungging. Diposisi itu penis Jeno benar-benar menusuk tepat pada prostatnya.
Kepala Renjun sungguh pusing, air liurnya menetes membasahi kasur dengan penisnya yang kembali ereksi.
"Aku keluar ... ah!"
Bisa Renjun rasakan semburan yang mengalir dalam tubuhnya itu begitu deras, bahkan sisanya meluap keluar setelah Jeno mengeluarkan kejantanannya.
Renjun terengah-engah. Masih dengan posisi menungging, tangannya ia bawa menuju penisnya yang masih mengacung. Mengurutnya pelan, diiringi rintihan kecil yang keluar dari mulutnya.
"Akh!"
Ia lupa dengan keberadaan Jeno yang mengamati gerakannya, hingga dengan inisiatif pria itu, Renjun diangkat lalu ditaruh diantara kakinya.
Memeluk Renjun dari belakang, dengan tangan kanannya yang mengocok kejantanan Renjun dan tangan kirinya yang memilin puting istrinya itu.
Bibir Renjun tak henti-hentinya mendesah, melampiaskan kenikmatan dengan meremat sprei yang tak lagi berbentuk. Kepalanya mendongak, kala bibir basah Jeno menjilati dan mencumbu pundaknya.
Hingga bisa ia rasakan, klimaksnya datang.
Nikmat ....
Tak Renjun sangka, senikmat ini rasanya.
"Kau keluar empat kali, Renjun. Apakah begitu nikmat hm?" Renjun hanya mengangguk lemah dengan mata terpejam. Tak mampu lagi mengeluarkan banyak kalimat untuk menjawab pertanyaan suaminya.
Jeno terkekeh gemas, lalu memeluk Renjun masih dengan posisi yang sama.
Telapak tangannya ia bawa kepermukaan perut sang istri, lalu dirinya tersenyum.
"Tumbuhlah dengan cepat, nak. Ayah dan bunda menunggumu."Dengkuran halus Renjun menjadi pengingat Jeno bahwa sang istri benar-benar kelelahan. Dan itu membuat Jeno tersenyum lembut, "Aku mencintaimu, selalu."
END