Aku pernah mencintai dengan segenap jiwa. Se tulus hati. Dan begitu yakin akan bersama. Setiap kesamaan yang ada selalu ku anggap sebagai jodoh. Setiap perhatian, tanya, lelucon, dan lain sebagainya ku anggap sebagai bentuk kasih sayang kepada kekasih.
Saat itu rasanya tak tahu harus berbuat apa, memberitahu nya tentu itu hal yang bodoh. Namun, yang bisa kulakukan mendoakannya dan memintanya kepada tuhan. Aku juga sempat mencatat semua tentang kenang itu secara rapi dalam buku diary ku.
Jika dulu benar-benar tak ada yang tahu tentang rasa itu. Buku yang seharusnya ku simpan rapi, namun telah terbaca oleh teman-teman ku. Ya saat itu pula rasanya aku tak sanggup menatap wajah lelaki itu lagi, kali ini pun jika masih ada temu rasanya aku cukup malu. Bukan karena apa, dia cukup jauh di atasku. Dia yang seharusnya menjadi panutan ku, tapi aku telah lancang mencintainya.
Berbagai harap dan angan tentu aku telah menciptakan itu dengan rapi. Terlihat seolah-olah memang ada nyatanya. Namun aku salah, harap dan angan yang ku tata rapi terhalang oleh takdir. Aku dan dia tidak ditakdirkan bersama. Jika diingat kembali se jatuh apa aku dulu rasanya tak terlalu jatuh. Karena sejatinya diri ini tahu jika kami tidak akan bersama. Namun setelah itu rasanya aku benar-benar sepi. Buku diary yang seharus penuh namun terhenti di tengah jalan. Tinta pun yang seharusnya tak bisa ku pakai, tapi masih banyak sisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Fiksi RemajaSetiap bunga Dandelion selalu siap dibawa kemana pun oleh angin. Padahal ia tak pernah tahu kemana nanti ia akan sampai. Namun ia selalu kuat bahkan tak pernah mengeluh. Begitu pun dengan hati ku. Yang diriku pun tak pernah tahu mau dibawa kemana ol...