Bab 3: Skenario Indah

127 31 21
                                    

"Lo mau ke mana?"

"Ngembaliin seragam."

"Lo... Lo berani sendirian?" tanya Queen yang masih merasa terintimidasi akan sosok Gita.

"Memangnya lo mau nemenin?" tanyaku balik yang dijawab Queen dengan menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Gue bantu doa dari sini saja." Tambah gadis itu sambil meringis.

Semenjak kejadian kemarin, saat Gita dan kedua temannya menghadang kami, ketiga temanku terlihat takut untuk keluar dari kelas. Terlebih lagi Queen yang terus menasihatiku agar tidak berurusan dengan Gita. Gadis centil itu memang begitu penakut—terutama soal alisnya yang tidak sama rata itu.

Jujur saja aku tidak merasa takut untuk menemui Gita. Toh, aku juga hanya mengembalikan seragam Gita tanpa mau mencari keributan. Bagiku tidak ada orang lain yang bisa membuatku takut selain Bude Poppy. Melihat sorot mata Bude Poppy saja sudah berhasil membuatku tunduk seperti anak anjing. Jika dibandingkan dengan Gita, gadis itu tidak sebanding. Gayanya kemarin saja seolah masih aktris baru yang sedang memerankan peran antagonis.

"Ada Gita?" tanyaku kepada seorang siswi yang akan masuk ke kelas.

"Git, ada yang cariin, itu."

"Suruh masuk aja!"

Aku pun berjalan masuk ke kelas Gita. Pandanganku langsung bertemu dengan gadis berambut panjang yang melambaikan tangan. Langkahku pun mendekat kepada Gita dan kedua temannya yang duduk di bangku belakang paling pojok. Aku menyerahkan paper bag berisi seragam Gita yang telah aku cuci dan setrika. Dengan wajah songongnya, Gita mengambil paper bag itu dan mengecek apakah noda es coklat pada seragamnya telah bersih.

"Wah, beneran bersih ternyata," kata Gita sambil menatapku dengan remeh, "lo cuci pakai tutorial yang lo saranin ke gue kemarin?"

Aku hanya mengangguk.

"Cocok, nih, lo buka laundry," kata Gita yang langsung disambut tawa teman-temannya.

"Nanti gue bakal jadi pelanggan setia," kata siswi yang identik memutar-mutarkan rambutnya dengan jari telunjuk.

"Sekali lagi gue minta maaf karena waktu itu kurang fokus saat jalan," ucapku sambil membungkukkan kepala dengan cepat.

"Oke, thank you," kata Gita yang kemudian mengisyaratkan bahwa aku sudah diperbolehkan untuk pergi.

Hari itu, aku kira dengan mencuci seragam Gita hingga bersih telah mengeluarkanku dari masalah. Tapi nyatanya, aku masih harus berhubungan dengan Gita setiap harinya. Sejak awal hubungan kami memang sudah tidak baik, berjalannya waktu jadi makin tidak baik. Untuk pertama kalinya aku mendapatkan bully-an secara verbal. Gita tidak segan-segan membuatku terluka mulai dari menjegal kaki, sengaja menabrakku saat membawa bakso yang panas, bahkan menyuruhku untuk menghisap rokok bekas salah satu temannya.

Ucapanku hari itu yang mengatakan bahwa hanya Bude Poppy yang bisa membuatku tunduk, kini aku tarik. Se-menakutkannya Bude Poppy, beliau tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Walau kekerasan batin juga sulit disembuhkan, akan tetapi Gita dan teman-temannya itu melakukan kekerasan fisik sekaligus batin kepadaku. Rumor tentang ayahku sebagai peminum berat bahkan pejudi tersebar di seluruh penjuru sekolah yang membuatku banyak mendapat tatapan rendah. Tidak hanya tatapan saja, beberapa siswa-siswi bahkan berani mengumpatiku hanya karena rumor yang Gita sebarkan.

Tidak hanya menyebarkan rumor, Gita juga berhasil membuat ketiga temanku menjauh. Gita mengatakan hal yang tidak pernah aku katakan kepada Ica yang membuat Ica menyuruhku untuk mencari bangku lain. Aku tidak tahu apa yang Gita katakan pada Ica, yang aku tahu hal ini sangat menyakitkan. Baru saja aku merasakan bagaimana rasanya memiliki banyak teman. Namun, tidak sampai seminggu, Gita sudah berhasil mengambil kebahagiaanku itu. Kini, aku kembali sendirian lagi.

Ghost WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang