[3]

1.1K 67 3
                                    

Malam hari pun berganti menjadi pagi hari yang sangat cerah, ayam berkokok membangunkan matahari untuk segera memberikan kehangatan bagi para makhluk hidup di muka bumi ini. Betapa indahnya karunia yang telah diberikan Tuhan pada kita. Seperti masih memberikan waktu hidup di hari ini untuk menjadikan hidup lebih baik dari hari kemarin, semangat!

Seperti biasa aku akan menyiapkan sarapan berupa nasi goreng dengan lauk telur mata sapi kesukaan Mas Fajri. Tapi biasanya jika aku pulang, aku masih akan menemukan makanan ini bertengger di-pantry. Niatnya buat Mas Fajri tapi malah lalat yang makan.

"Hobi banget buang makanan, kalau tahu aku nggak akan makan kenapa masih kamu buat?" ujarnya dengan nada sinis. Aku yang sedang menaruh telur mata sapi di atas nasi goreng pun terhenti akibat ucapannya.

"Mas Fajri kan harus sarapan, banyak kerjaan yang akan Mas kerjakan di kantor nanti."

Dia berdecak, "Sejak kapan kamu perhatian kayak gini? Udah pernah mengkhianati sekarang berubah profesi mempedulikanku, sungguh pekerjaan yang menyakitkan."

"Aku minta maaf, Mas..."

"Aku nggak bisa hitung kata maaf yang sudah kamu ucapkan padaku, tapi itu tidak akan pernah mengubah apapun. Ingat itu!" imbuhnya dan pergi meninggalkanku yang masih terpaku dengan omongannya yang sedikit demi sedikit baru kusadari itu terlalu tajam.

Tanpa berfikir panjang lagi, nasi goreng yang telah kubuat untuknya langsung saja kulahap dengan rakusnya sambil berteteskan air mata yang sudah menggenang di dalam mata.

===

Jam dinding menunjukan pukul 10.45 dan aku segera merapihkan alat kerjaku dan menaruhnya kembali dalam box biru tosca milikku.

Dengan setelan blouse berlengan panjang bermotif floral dan rok panjang simpel, aku pun segera meninggalkan rumah dan menguncinya secara rapat. Kakiku langsung menuju jalan kecil yang terletak tidak jauh dari jalan utama.

Dengan kendaraan umum pun cukup untuk sampai menuju tujuan, sebuah kedai pizza yang baru saja dibuka tiga bulan lalu. Setelah lima belas menit berada di jalan dan kini aku sudah sampai di depan kedai Pizza.

Tadi aku baru saja mendapat pesan dari Kak Emi bahwa dia sudah sampai duluan, dia berada di lantai dua kedai ini.

Aku segera disambut oleh pelayan bertopi hitam dan tersenyum ramah padaku. Kakiku segera beranjak untuk menapaki anak-anak tangga yang lumayan luas ini. Sesampainya di lantai dua, aku mengedarkan pandanganku untuk mencari keberadaan Kak Emi dan tepat saat mataku melihat ke arah kanan ada sebuah lambaian tangan ke arahku. Aku rasa itu adalah Kak Emi, aku pun segera menghampirinya.

"Maaf lama, Kak," sautku sesampai di mejanya.

Dia terkekeh, "Tidak apa-apa, lagian aku juga baru datang."

"Duduk!" sambungnya.

Aku segera duduk di hadapannya dan melihatnya yang kembali tersenyum padaku.

"Kak..."

"Ya?"

"Boleh aku mengetahui maksud Kakak memintaku bertemu di sini?"

Dia tersenyum tipis dan menutup buku menu, "Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh, bukan maksudku untuk apa-apa tapi aku hanya ingin membuktikan perkataan di mana dulu Fajri memujimu sebagai wanita yang ia sayangi."

"Maksud Kakak?"

"Dulu waktu kalian masih dekat, Fajri sering menceritakan tentangmu padaku. Dia benar-benar bangga mempunyaimu Ras, dia seperti memiliki mainan baru yang benar-benar berharga. Tapi di saat kamu mengkhia--"

"Maaf Kak, bukannya aku tidak mau menerima kenyataan. Tapi aku hanya ingin tidak membahas kesalahanku, karena sehari-hari Mas Fajri sudah menyindirku dengan perkataan tajamnya."

"Itukah yang dia lakukan padamu sekarang?" Aku mengangguk dan membuang muka untuk menatap jendela.

"Lalu sekarang bagaimana perasaanmu dengan Mas Fajri, atau masih mencintainya?"

"Mencintai Mas Fajri benar-benar menyakitkan untukku, tapi itulah kenyataannya bahwa aku mencintai dia."

"Tapi kamu tahu kan kalau aku dan Mas Faj--"

"Ya aku tahu, kalau kalian memang saling mencintai. Jadi apa tujuan sebenarnya Kakak mengajakku ke sini?"

Dia meneguk minuman jeruknya dan menaruhnya kembali di atas meja, "Aku ingin kamu memberikan Mas Fajri untukku."

Aku terkejut dengan ucapannya, kalau ini tujuannya mending aku tak perlu menemuinya. Memberikan Mas Fajri padanya bukanlah salah satu hal yang baik. Mas Fajri tentu saja masih suami sahku.

"Keberatan?"

Aku menoleh kearahnya, "Sungguh keberatan, aku tidak akan memberikan Mas Fajri padamu kecuali hal yang mendesak."

"Seperti apa?"

"Aku tidak tahu, aku tidak menjamin hal ini."

Dia kembali tersenyum tipis dan mengambil tasnya, "Aku harap kamu mempertahankan ucapanmu yang tadi, karena jika sudah menyakiti maka akan susah untuk membuatnya sembuh kembali," ucapnya dengan nada sinis dan meninggalkanku sendiri di meja ini.

Ditinggalkan bersama bekas luka yang benar-benar masih membekas, cobaan macam apa lagi yang akan aku terima dikemudian hari?

______________________________

#JustRespectMyWorks dengan cara memberikan vote dan comment di edisi ini, matur nuwun^^

Teras, 5 Juni 2015

Sebuah Pilihan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang