03: Larangan

165 36 7
                                    


"Kau tidak jadi buang sampah?" Chang He memasukkan makanan ke mulutnya dengan tidak sabar. "Kenapa dengan wajahmu?" tanyanya lagi.

Xiao Zhan yang masih mematung, melihat Chang He yang tampak tidak terganggu sama sekali. Hanya melahap makanan dengan santainya seolah apa yang baru saja terjadi hanya berlangsung pada dirinya seorang.

Pintu di hadapannya ia buka perlahan, kemudian yang terlihat hanya dinding tembok dan ruang kosong di luarnya. Tidak ada seorang pun di sana. Xiao Zhan kembali menutup pintu, menaruh sampah kaca ke pinggir dan menghampiri Chang He.

"Apa barusan mati lampu?"

Chang He menggelengkan kepala, "Apa maksudmu?"

"Lalu, .... Apa kau melihat ada sesuatu yang aneh pada koki bernama Johan itu?" Xiao Zhan tidak menyerah untuk mengurai kejadian membingungkan itu.

"Ada," jawab Chang He.

"Apa itu?"

"Dia bau." Chang He menahan suapan lalu menambahkan sambil berpikir, "Bau seperti .... Sesuatu yang terbakar. Aku rasa itu karena asap dari makanan yang dia masak menempel di pakaiannya. Aku tidak tahu."

"Aku tidak yakin harus memberitahumu ini atau tidak, tapi barusan aku melihatnya--"

Pintu kamar kembali diketuk, memotong kalimat Xiao Zhan dengan spontan. Karena Chang He kali ini sedang sibuk makan, Xiao Zhan yang bergerak membuka pintu.

Langkah kaki Xiao Zhan tersendat-sendat. Ia merasa sedikit ragu, masih dihantui bayangan menakutkan di balik pintu itu beberapa saat lalu. Namun, saat ini pintu itu terus diketuk bertubi-tubi seolah tidak sabar untuk mendapat jawaban.

"Oh, kau," ucap Xiao Zhan lega setelah melihat wajah yang berbeda dari dugaannya.

"Ya. Kenapa wajahmu tegang begitu?" Yibo tersenyum halus dan mengintip ke dalam, "Kalian sedang makan malam?"

"Ya, Johan baru saja mengantarkan makanan untuk kami."

"Aku ingin minta tolong padamu, jika kau sudah selesai makan nanti."

"Apa itu? Kebetulan aku belum mau makan," sahut Xiao Zhan.

Yibo tersenyum senang lalu bergeser untuk memberi ruang, "Mari."

Mengikuti langkah kaki Yibo menaiki tangga, Xiao Zhan memperhatikan betapa halusnya langkah orang itu. Berbeda dengan Xiao Zhan yang menimbulkan suara derap setiap kali kakinya mengetuk lantai, Yibo berjalan seperti melayang. Mungkin karena aturan untuk tidak menimbulkan suara berisik, ia melatih diri agar tak bersuara dalam geraknya.

Bagaimanapun, itu adalah sesuatu yang aneh sekaligus keahlian yang mengesankan di mata Xiao Zhan.

"Kebanyakan lampu di rumah ini sudah tua dan tidak menyala, jadi keadaan mansion di malam hari terasa sedikit menakutkan." Yibo menoleh untuk memastikan Xiao Zhan tidak tertinggal dan kemudian berjalan lebih pelan, "Tapi rumah ini adalah tempat yang nyaman untuk tinggal, setidaknya sebelum gangguan itu datang."

Tepat ketika kaki Yibo berhenti, tampak sebuah dinding bercat emas dengan lukisan besar terpajang memenuhi pandangan. Itu adalah lukisan seorang pria yang duduk menyamping, mengenakan pakaian putih tipis dan tangan yang terkulai ke bawah. Wajahnya menghilang karena coretan merah yang menggoresnya secara tak beraturan.

"Ini adalah lukisan Tuan Chen," tutur Yibo sambil memandang lukisan itu dengan tatapan penuh makna. "Dia memiliki wajah yang sangat tampan. Tetapi, sayangnya hal itu bukan sesuatu yang ingin ia akui."

"Ya, .... Aku bisa melihat ketampanannya dibalik cat merah itu."

"Itu bukan cat," sahut Yibo sambil berbalik badan, menatap Xiao Zhan dengan raut membantah keras. "Itu bukan cat."

ABSTRACTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang