Lagi, tubuh ini telah terbiasa. Menusuk, menghindar. Membunuh, menebas. Berjalan cepat, dan menjatuhkan lawan dengan pedang.
Dunia seakan membencimu dalam perang, tiada lawan, tiada kawan. Trauma sudah hilang, menyatu dengan dada, membekas, membelenggu, namun terbiasa. Rasa takut telah hilang, getaran jiwa telah pergi. Tak berdosa, tangan mengayun. Menebas lagi, memotong kepala orang, menusuk dada. Membunuh dengan ekspresi yang datar.
Jauh, pandanganku jauh, tak lagi peduli dengan semua, tak lagi tahu apa arti dunia. Terbiasa, jika nyawa semurah itu, untuk apa aku hidup? Jika nyawa dapat direnggut dan ditukar dengan mudah, untuk apa aku bertahan? Ini semua salah dan tak benar. Apa arti dari kehidupanku yang sebenarnya?
Mata tak bisa melepaskan pandangannya dari matahari, ia terbenam, menguning dan membawa segala kesedihan hilang ditelan oleh bumi. Berhenti, semua pertempuran ini telah usai, meninggalkan diriku sambil terdiam tanpa arah, hanya bisa menatap kosong, lalu mempertanyakan, apa yang selama ini kulakukan di hidupku.
Tubuh yang sedari tadi berdiri di ujung tebing, mulai menurunkan tatapan dari lembah yang diselimuti cahaya keemasan. Merasa cukup, membalikkan badan, dan mulai berjalan perlahan ke tengah hutan. Tak lama dari belakang ada suara yang menggapai telinga, pelan namun terdengar ramah dan menenangkan.
"Sudah mau pergi?" katanya, hanya kubalas dengan senyum. Kaki melanjutkan langkah menuju kegelapan, meninggalkan pria paru baya itu sendirian.
Aku tak ingin merepotkannya. Tampak, desa mereka telah benar-benar kehabisan uang untuk menyewa berbagai tentara bayaran sepertiku. Sehingga, menerima kebaikan itu mungkin akan sedikit menggangu.
Namun dalam perjalanan aku kembali bertanya...
Untuk apa kehidupan itu ada?
Aku tak mengerti, aku tak tahu. Mata tak bisa menghindar maupun berbohong. Suara dan pemandangan itu masih terbayang, 10 tahun telah berlalu, dan aku masih tidak mengerti. Untuk apa semua ini terus terjadi?
Berjalan, kaki menyusuri hutan, dan menghilang di antaranya. Ingin menginap, namun tidak memiliki apa-apa untuk dipegang. Hanya sedikit koin emas dan perunggu yang kubawa. Tubuh ingin beristirahat, namun entah kenapa ia menolak. Seharusnya aku bermalam di desa tadi. Tetapi aku sudah memutuskan, tiada istirahat untuk hari ini. Sungguh aneh, sungguh tidak konsisten. Tampaknya, aku benar-benar butuh istirahat.
Cahaya rembulan menyinari penjuru hutan, tenang, redup namun cukup untuk membuka pandangan. Hanya jalan setapak yang berada di hadapanku. Hewan-hewan hutan mulai menampakkan suaranya. Serigala melolong kencang sepanjang jalan, burung-burung beterbangan, ular dan mamalia-mamalia kecil mulai menyeberang dari pinggir jalan.
Benar-benar sebuah suasana yang bisa kau temukan di hutan mana saja.
Hari ini semua berjalan baik, dan aku mulai bertanya kepada diriku atas apa yang terjadi.
Apakah ini semua sudah cukup?
Apakah ini semua telah memenuhi tujuan dari hidupku?
Tidak, seharusnya bukan jalan ini yang kutempuh selama ini.
Cita-cita? Aku bahkan telah lama lupa atas itu, menjadi seorang penyihir nomor satu di desa? Ah, desaku bahkan telah hilang dari peradaban. Aneh, namun inilah kenyataan pahit yang harus kuterima.
Berjalan, menyusuri jalan setapak yang tampak tak ada hentinya. Gelap, penuh siaga, cengkeraman tanganku semakin menguat. Siap menyerang kapan saja. Aku tidak tahu makhluk buas seperti apa yang akan menyerangku. Mata ini cukup terlatih, tak perlu lagi membawa obor seperti dulu.
Pengalaman telah menjadi guru, tak mau meninggalkan jejak, dan tak mau menunjukkan ke mana diri ini melangkah. Bagai pembawa obor di malam hari, kurasa diri ini telah benar-benar menutup pintu hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rattleheart
Adventure(Cerita Update setiap 3-10 hari sekali) Arslan adalah seorang tentara bayaran yang mencari arti dari dunia. Baginya dunia tak lagi sama semenjak dia terpaksa menjadi tentara bayaran. Peperangan, rasa sakit, hubungan antara manusia. Apa sebenarnya it...