"Ayah..."
"Ayah memang sengaja. Kau jelas akan menolak jika Ayah mendiskusikan hal ini lebih dulu. Sedangkan Ayah disini ingin sekali melihat anak Ayah menikah."
"Tapi kenapa harus dengan dia?"
"Karna Ayah tau, mana yang terbaik untuk mu. Mulai sekarang dan seterusnya, Ayah sudah tidak lagi ikut campur urusan Berlin. Ayah akan hidup sendiri, begitu juga dengan Berlin."
" ..... Ayah, akan tetap menganggap ku sebagai anak mu kan?"
"Ya.. mungkin."
"Yang penting kalian akan menikah, setelah menikah nanti, mau cerai atau mau selingkuh? Semua keputusan ada di Berlin sendiri. Dan satu lagi, Ayah harus pergi. Ayah tidak bisa selalu ada di samping Berlin. Suatu saat nanti kita akan bertemu, entah kapan waktu akan mempertemukan kita, kau hanya perlu menunggu."
"Tidak banyak yang Ayah beri untuk Berlin. Hanya Perusahaan beserta hasilnya dan Fax. Dia akan selalu menjadi yang utama. Suatu saat nanti, hatimu akan di uji. Jadi, berhati-hati lah.. pilihlah yang menurut mu paling bisa mengerti dirimu. Ayah pergi sekarang."
.
.
.
.
.
.
."Ayah ...!!" Terbangun di tengah ruangan sunyi, disitulah ku menyadari bahwa yang ku dengar tadi itu hanyalah mimpi akibat kepingsanan ku. Suasana yang benar-benar nyata membuat ku makin menaruh harapan kepada Ayah. Namun sayang, semua ucapan itu hanyalah ucapan yang di buat seakan nyata. Atau bahkan itu adalah pesan yang tak secara langsung di sampaikan?
Kriet...
Ku mendengar pintu terbuka yang menandakan seseorang masuk ke dalam ruangan. Ku tak melihat siapa, kepala ku tertunduk seraya ku topang dengan telapak tanganku. Rasanya sungguh berat nan pusing.
"Berlin." Sebutan lembut namun tampak tertekan paksa, dan suara yang sama sekali tak asing bagi telinga ku membuat ku refleks mendongak melihat siapa yang berada di samping ku saat ini.
"Ah, kau.." Melihat dirinya lagi, aku jadi teringat tentang bagaimana kalimat perpisahan nya yang sungguh menusuk dalam hatiku. Lebih tepatnya, aku kecewa. Aku mengira kami adalah teman se-apartemen yang dekat nan bersahabat.
Namun ternyata selama ini Eron memendam segala amarah nya yang lalu ia keluarkan ketika kami telah berpisah. Justru rasa cintaku padanya langsung hilang begitu saja.
"Sudah baik?"
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku memekik enggan melihat nya.
"Aku bertanya, kenapa kau mengela?" kata Eron sedikit kesal.
"Baik." Aku mengangguk ragu. "Sungguh?" Eron tak mempercayai ku hingga satu tangannya hendak menempel pada dahi, namun di saat itu juga ku kesat menyingkirkannya.
"Tidak perlu peduli. Aku baik-baik saja. Dan maaf, aku sudah merusak acara ulangtahun mu."
"Kau tidak merusak nya." geleng Eron.
"Oh." respon ku malas.
"Tentang perjodohan kita-"
"Akan tetap ku jalani sebagai permintaan terakhir Ayahku. Itupun aku dijodohkan dengan kau karna urusan bisnis yang sejenis. Jadi, hubungan pernikahan kita tidak perlu di jalankan secara serius." potongku.
"Setuju. Aku tidak mungkin meninggalkan Leyla begitu saja hanya karna seorang wanita tua seperti mu. Dan hubungan pernikahan kita tidak akan bertahan lama, kita akan bercerai setelah beberapa bulan." Eron menjelaskan semua apa yang ia mau selama hubungan pernikahan kami akan berlangsung.
Aku baik-baik saja dengan permintaan dia, karna fakta kami tidak pernah merasa dekat ataupun memiliki perasaan yang sama. Aku menerima kenyataan karna permintaan akhir Ayah, nan untuk selanjutnya Ayah akan pergi meski tak secara langsung menyampaikan pesan itu di hadapan ku.
"Lagian siapa yang mau memiliki istri l*nt* seperti mu." Di akhiri dengan ringisan iblis, ia keluar dari ruangan opname ku. Sedikit tegas menutup pintu.
"Apa aku terlalu berlebihan?" celetukku melihat diriku yang sepertinya tidak seumum wanita lain.
Kriet...
Suara pintu terbuka kembali terdengar setelah 30 menit berakhir. Tampak seorang pria tinggi berjas biru tua gelap berjalan kearah ku.
"Selamat malam, Bu Direktur," sapaan yang sudah ku tunggu-tunggu akhirnya datang.
"Darimana saja kau?" tanyaku gembira namun tak sepenuhnya ku perlihatkan.
"Saya tidak mungkin langsung masuk, tadi di luar masih ada Pak Eron beserta keluarga nya."
"Tidak apa Fax, kau kan sekertaris ku." pungkas ku seraya mengunyah bubur. Fax hanya mengangguk tanpa balasan.
"Sejak kapan anda suka bubur?" lanjut nya bertanya.
"Haha.. aku lapar. Jadi aku makan apa saja yang ada." respon ku meringis garing.
"Tadi saya sempat memperhatikan beberapa hidangan makanan di acara, banyak sekali yang mengandung telur dan kacang-kacangan. Itupun saya belum sempat mengabari anda, saya takut jika anda memakannya sebab terpaksa atau tidak sadar." kata Fax memberitahu.
"Ah itu, aku tidak memakannya. Tenang saja." pungkas ku.
"Sepertinya anda tampak lebih baik sekarang. Syukurlah." Aku sekilas menoleh melihat raut wajah Fax yang tampak lega.
"Ini, saya bawakan beberapa obat dari Dokter. Anda harus rajin meminum nya setelah sarapan dan makan malam. Pastikan perut anda telah terisi nasi sebelum meminum obat." cakap Fax berpesan. Aku mengangguk kemudian berpikir jika Fax pasti lelah.
"Terimakasih Fax. Kau boleh pulang sekarang." suruhku tersenyum menandakan rasa terimakasih ku paling dalam.
"Tidak bisa. Saya harus menemani anda selama anda di rumah sakit."
"Aku baik-baik saj-"
"Ayah anda yang menyuruh saya. Saya tidak bisa menolak perintah beliau."
"Ayah? Ayah disini?" Refleks menoleh kejut sebab jawaban Fax. Aku melebarkan sepasang mata sedikit tak menyangka jika Ayah sempat menjenguk ku walau tak bertemu secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Man Behind Me [HIATUS]
Roman d'amour"Ini bukan tentang perselingkuhan tetapi dibanding suamiku, aku lebih memilih sekertaris ku."