04 mengalir seperti air

8 0 0
                                    

Setelah menyapu bagian luar kelas, Ikallam meletakkan sapu di atas kakinya. Posisi dagunya saat ini tengah menopang di ujung ganggang sapu tersebut. Pemandangan di depan lapangan sangat ramai. Tetapi entah mengapa ada bagian di dalam hatinya yang menjadi begitu sepi. Raganya di sekolah, pandangannya ke lapangan, namun pikirannya jauh entah ke mana.

Banyak hal yang ada di pikirannya. Semua pikiran itu terkadang datang dan pergi. Ketika ia bersama teman-teman, semua isi kepalanya seakan hilang begitu saja. Dirinya merasa begitu lepas dan tenang. Namun ketika sendirian seperti sekarang,  perasaan gelisah dan semua yang ia pikirkan datang begitu saja.

Pada wastafel di depan kelas, Ikallam mengingat kembali mengapa ia bisa berada di sekolah ini. Mengapa Papa mengirimnya ke  sekolah yang pada awalnya bukan menjadi pilihan. Bahkan memang tidak pernah terbesit dikeinginannya untuk menempuh pendidikan di sekolah berasrama seperti ini. Selama ia tinggal di asrama ini, selama itu pula ia tidak pernah menemukan jawaban mengapa ia berada di sini. Selama ia menginjakkan kaki di sekolah ini, semenjak itu ia tidak pernah mengunjungi rumah.

Bahkan mencari tahu keadaan keluarganya saja sudah tidak pernah lagi.

Papa hanya bilang untuk tahu kehidupan sesungguhnya, Ikallam harus belajar mandiri. Tapi apa mandiri itu seperti ini. Di antar ke sekolah yang jauhnya bahkan sampai berbeda pulau. Apa ini definisi mandiri menurut Papa dan Mamanya?

"Kamu bakal nyaman di sini. Percaya sama Papa,"

Memang pada awalnya, tinggal di asrama rasanya sulit. Tetapi setelah 2 Tahun lebih ia jalani, rasanya bahkan jauh lebih menyenangkan dari pada di rumah. Ikallam bahkan sekarang tidak lagi menebak-nebak bagaimana keadaan Cuppy—kucing kesayangannya. Yang ia harapkan, pada saat ia pulang––entah kapan. Ia harap Cuppy sudah sebesar Hurry––motor biru muda kesayangannya.

"Kelas dua belas ini kan cuma delapan bulan.  Berarti tinggal tujuh bulan lagi. Kalian mau lanjut ke mana?"

Ikallam mengingat pembicaraan beberapa hari lalu di ruang tamu. Pada saat itu ia tidak menjawab setiap percakapan teman-temannya tentang kelulusan dan kehidupan selanjutnya. Ia hanya belum siap, belum siap melihat teman-temannya yang mulai punya kesibukan, belum siap untuk menghadapi bahwa 'kehidupan sudah berlanjut, saatnya mereka memilih jalan masing-masing', dan ia belum siap harus meninggalkan Jakarta yang penuh kenangan ini kalau-kalau ia harus kembali ke Bandung.

"Alam gak mau pulang, Pah, Mah. Salah kalian kirim Alam ke sini. Sekarang Alam udah bisa mandiri kaya apa yang Papa inginkan, Alam juga udah bisa bangun lebih pagi kaya yang Mama pengin, bahkan lebih awal dari yang lain." Gumamnya masih menumpu dagunya pada ujung ganggang sapu.

Pandangannya mulai tertuju pada Archio yang melambaikan tangannya. "Alam juga gak siap kalau harus jauh dari mereka. Alam takut kalau Alam pergi nanti gak akan ketemu mereka lagi. Sekarang mereka segalanya bagi, Alam."

Keputusannya sudah bulat, permintaan Papa dua hari lalu untuk ia mengambil cuti, akan ia tolak. Beberapa hari lalu, Papa menghubunginya untuk bisa cuti beberapa hari agar bisa pulang ke Bandung. Ikallam masih butuh waktu untuk memikirkannya sampai hari ini, ia menemukan keputusan yang menurutnya tidak akan merugikan baginya. Lagi pula, mengapa baru sekarang Papa ingin menjemputnya. Setelah beberapa Tahun lalu ia memohon untuk dibawa pulang.

"Kenapa baru sekarang?"

💍💍

"Ya, karena gue baru sekarang sadarnya, gimana dong?" Jawab Matheo dengan santai. Rasanya Matheo ingin melepaskan kupingnya untuk sesaat demi menghindari omelan Yohanes tak henti-hentinya sejak beberapa menit yang lalu.

Di belakang sekolah cukup sepi, ada beberapa murid yang sedang bersantai. Ada juga yang pacaran. Matheo, Yohanes, Libra, dan Daniel duduk di kursi panjang belakang gudang. Yohanes sibuk nyerocos karena teman-temannya tidak ada yang memberi tahu kalau bagian belakang celananya robek.

BESOK KITA KUMPUL LAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang