06. Jiwa yang bersedih

10 0 0
                                    

Aku saranin dengerin lagu Jiwa yang bersedih biar feelnya dapet.

06. JIWA YANG BERSEDIH

****

Di bawah pohon kenanga, anak yang seharusnya sekarang duduk di kursi untuk belajar malah duduk di samping pusara sang Ibu. Di bawah pohon kenanga, pundaknya yang kokoh kini tak lagi mampu tersanggah dengan tegap oleh tangisan. Di bawah pohon kenanga itulah, dia bukan lagi dirinya yang beberapa jam lalu menertawakan sebuah lelucon sekeras tangisan tak berujung.

Anak bungsu Ibu yang sudah beranjak menjadi dewasa pada pegangan yang berbeda. Anak bungsu Ibu yang tak pernah jadi kuat ketika teman-temannya dikunjungi Ibu mereka masing-masing. Di sini, masih menjadi anak bungsu Ibu yang tak pernah menjadi saksi pertumbuhannya.

Libra menggunakan waktu istirahatnya untuk  datang ke pusara Ibu. tidak selalu, hanya ketika dia rindu Ibu dan merasa sedih saat itu juga. Memang Libra sedang tidak baik-baik saja. Itu semua karena Rafka yang tadi mengata-ngatainya saat di lapangan bola. Bocah sialan itu terus memamerkan dirinya yang membawa bekal buatan Mamanya. Libra tidak akan sesedih ini kalau saja Rafka tidak berbicara melebihi batasan.

"Bekal buatan Mama tuh enak banget, eh lo pernah gak dimasakin bekal?"

"Pernah dong. Pas SD,"

"Kalo lo? Pernah gak dibuatin bekal?" Kali ini Rafka bertanya pada Libra yang baru saja akan melewati mereka.

"Dia gak punya Mama, Ka," bisik temannya yang mengetahui bahwa Libra tidak punya Ibu––Dulu mereka sempat berteman dekat saat SMP.

Dan entah mengapa Libra hanya bisa berdiri kaku menatap Rafka dan temannya, Apalagi saat Rafka mendekat dan menatapnya skeptis. Rasanya Libra ingin mencongkel mata Rafka yang membuatnya jengkel. Libra tahu, dia pasti menjadi target selanjutnya untuk bocah itu mencari masalah. Lalu dengan tenang Rafka menepuk tangannya berkali-kali seolah memberinya ucapan selamat.

"Mamanya kenapa? Meninggal atau kabur?" Rafka menoleh ke arah temannya di belakang.

"Meninggal."

"Turut berduka cita, ya, Bre." Rafka menepuk pundaknya pelan, seolah memberi semangat padanya yang selama ini rapuh. "Kalo gak punya Mama biasanya yang masak siapa?"

"ART," jawab Libra.

"Oalah, gue juga punya ART. tapi masakan Mama sama ART tuh beda jauh, coba minta masakin deh. Oh, iya, sorry, gue mendadak lupa Mama lo udah meninggal."

"Bedanya apa?"

"Ya, bedanya dimasak sama Mama sendiri lah, tapikan lo gak punya Mama jadi ya gak ada bedanya."

"Gue doain Mama lo panjang umur, ya, Raf." Tanpa meladeni lagi, akhirnya Libra memilih pergi. Rafka dan segala kebangsatannya itu memang tidak akan ada ujung kalau terus ditanggapi.

"Suruh Bapak lo cari Mama lagi aja!"

Untuk sekian kalinya, Libra menyapu air mata yang terus mengalir deras. Dia hanya bisa menangis untuk melampiaskan sesak  yang menyeruak, sejak di dalam angkutan umum tadi dadanya terasa nyeri. Tangannya pun tak henti-hentinya mengusap nisan milik sang Ibu.

Jauh 7 tahun lalu, Ibu tidak pernah menemuinya di sekolah. Ibu yang pada saat itu akan menjemputnya malah harus dijemput dengan banyak orang di rumah sakit. Ibu yang katanya akan merayakan ulang tahun bersama malah memberinya hadiah yang sangat membekas hingga detik ini. Hiasan ulang tahun di rumah menjadi hiasan untuk menyambut jenazah Ibu pulang.

BESOK KITA KUMPUL LAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang