Update lebih cepat di Karyakarsa.
Link ada di bio
Selamat Membaca
"Pak... Bapak dipanggil Ibu di ruangan Bapak." Ibu disini adalah Bunda Dara. Sebagai ibu mertua, Dara tidak mau menantu kesayangannya sakit akibat ulah anaknya sendiri.
Bagas menutup dokumen, dan mengangguk. Ia menatap jam dinding sebelum beranjak ke ruangan Papanya. Benaknya diliputi rasa tidak tenang, karena ia belum bertemu dengan istrinya. Ingin rasanya Bagas pergi, mencoba mencari Keira.
Hingga Bagas sampai di depan pintu cokelat, pintu yang bertuliskan Direktur. Mencoba untuk tetap tenang, Bagas mencoba meraup udara sebanyak mungkin sebelum sesi persidangan dimulai.
"Masuk, duduklah." Perintah Pak Ahmad kepada putranya, pria yang sudah menyumbangkan kehidupan untuk Bagas.
Pak Ahmad berjalan mendekati Bunda Dara, ia duduk di sisi kosong sofa.
"Papa sudah dengar apa yang terjadi di rumah tangga kalian."
Bagas memilih untuk diam.
"Papa kecewa, sama kaya Bunda." Hati orangtua mana yang tidak kecewa akan tingkah laku anaknya? Apalagi ini menghasilkan kehidupan. Pak Ahmad tidak bisa membayangkan kehidupan apa yang selama ini cucunya jalankan.
"Tapi kami tidak bisa menutup mata, karena di tubuh anak kamu ada darah kami, keturunan kami."
"Bawalah anak kamu besok ke rumah, kami mau melihatnya." Ucap Pak Ahmad menyelesaikan pembicaraan. Sedangkan Bunda Dara hanya bisa diam, ia sudah mengeluarkan uneg-unegnya kemarin.
"Dan jika Keira memilih untuk berpisah dengan kamu, katakan kepada Papa karena Papa akan bantu dia."
Bagas menatap wajah Pak Ahmad, ia tidak bisa menyetujui ucapan Ayahnya. "Bagas tidak akan berpisah dengan Keira Pa."
Bunda Dara yang mendengar ucapan Bagas menatap sengit ke arah putranya itu. "Jangan egois kamu Bagas, Keira butuh bahagia."
"Tapi Bun.... "
"Nggak, Bunda tetap akan ada di sisi Keira. Kalau dia memilih cerai maka kamu harus mengikuti keinginannya." Putus Bunda Dara. Sebagai perempuan ia bisa membayangkan rasa sakit itu.
"Kamu yang berbuat maka kamu juga yang harus bertanggungjawab." Pak Ahmad menimpali, sebagai ayah ia merasa gagal. Tapi Pak Ahmad sadar jika dirinya belum bisa seratus persen ada untuk putranya.
"Seorang pria bisa dikatakan pria sejati karena tanggungjawabnya." Bagas tahu itu, jika dirunut dari belakang semua kesalahannya ada di masa lalu tetapi dampaknya yang mengikuti.
Bagas tidak membenci Lala meskipun karena kehadirannya Bagas harus melewati permasalahan yang pelik ini, karena ia menganggap Lala sebagai hadiah dari Tuhan.
"Baik Pa, Bun. Besok Bagas akan antar ke rumah."
***
"Aku harus balik, dicari Malik." Izin Alfi setelah mereka makan malam, Keira mengangguk pasrah. Toh, cepat atau lambat Alfi harus pulang.
"Hati-hati." Alfi mengangguk dan melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan, tak lupa dua sahabat itu berpelukan sejenak.
Sehabis Alfi pergi, Keira merasa kesepian. Dulu, saat Keira di rumah ia masih bisa berbicara dengan Bi Ayu meskipun itu sampai pukul tujuh malam.
Keira merenung, ia mencoba memikirkan masa depan pernikahannya. Memilih berpisah atau bersama semuanya terasa berat, apalagi stigma status Janda sangat tabu di keluarga besarnya.
"Lihat itu anak tetangga yang baru menikah satu tahun, perempuannya ngajak cerai." Ucap Budhe Harti saat mereka bertemu di sebuah acara hajatan. Budhe Harti memang tipekal perempuan kolot, dimana memandang status pernikahan adalah hal utama.
"Nggak semua janda itu tidak baik, Budhe." Keira menimpali. Ia pikir di zaman yang serba canggih banyak perempuan single mom yang bekerja untuk membiayai anaknya.
"Kamu nggak tahu aja apa yang mereka lakukan."
Keira terdiam, ia enggan untuk menimpali. Dari sini Keira sadar bahwa status janda sangat dipandang sebelah mata.
Tapi memilih tidak melepas pernikahan juga hal yang berat. Dimana Keira harus memutar otaknya untuk membunuh prasangka kotor itu. Bayangan akan perselingkuhan yang akan terulang selalu akan menjadi momok bagi korbannya, dan itu menjadikan otak selalu dibenuhi hal yang kotor.
"Arg!" Tiba-tiba sakit kepala menyerang Keira, ia merintih sakit. Kepala yang serasa dipukuli, dengan pandangan yang tampak buram. Jemarinya mencoba meraih ponsel yang ada di atas meja. Mengandalkan ingatannya Keira mencoba menghubungi nomor tersebut. Hingga rasanya Keira tidak sanggup lagi, ia terjatuh pingsan.
***
Suara rintik hujan menemani malam hari ini, suara yang sangat disukai oleh banyak orang. Karena suara inilah yang mampu mendistraksi kesedihan jika mereka tengah menangis. Bagas suka hujan, bukan karena ia sedih, tapi ia menyukai udara yang akan tercipta setelahnya.
Bagas menatap jendela rumah yang menampilkan rintik hujan. Bagas tersenyum sesaat sebelum menyesap teh hangat. Bagas ingat akan kenangannya dengan Keira disaat seperti ini. Keira, istrinya bukan tipe gadis kaku, ia adalah istri yang menghibur bagi Bagas.
Pernah saat itu, Bagas yang tengah serius dengan pekerjaan diganggu oleh Keira. Dimana Keira mengenakan baju sexy, diikuti suara musik untuk berdansa. Awalnya Bagas hanya diam, dia menunggu apa yang akan dilakukan istrinya.
Keira yang cerdik, yang cantik, dan pastinya yang ia cintai sudah menggodanya untuk berdansa. Tak membutuhkan waktu lama, mereka menikmati malam itu dengan berdansa.
Kedua tangan Keira ia kalungkan ke leher Bagas, pandangan mereka bertemu. Keira tersenyum, "Nggak usah jaim gitu. Mas sudah tahu luar dalamnya." Mereka sudah menikah lama, jadi pastinya semua yang ada di tubuh Keira, Bagas tahu.
Bagas tersenyum, ia terpesona akan tubuh sintal Keira. Malam ini rasanya Keira tampil mempesona. "Mas nggak usah serius sama kerjaan, cepat tua nanti."
"Kalau aku tua memang kenapa?" Hubungan mereka terpaut usia delapan tahun, "Aku cari pria lain buat menyenangkanku jika Mas nggak kuat."
Bagas tersenyum, ia tidak marah karena memang mulut istrinya itu laksana ember bocor. "Mana mungkin kamu nggak puas. Semuanya ini milik kamu."
Keira terkikik, "Tapi Mas sangat mempesona jika serius." Puji Keira tulus.
"Kalau tidak mempesona kamu tidak akan menyukai pria tua ini."
"Oh ya?" Kepala Keira mendongak menatap dalam ke netra Bagas. Dulu Keira pikir ia akan dijodohkan dengan pria tua yang kolot, tetapi setelah ia tahu siapa pria yang akan dijodohkan kepadanya, Keira mencoba menerima.
"Pria tua yang nakal ya." Bagas mengangguk, bibirnya ia daratkan ke bibir Keira. Mereka saling melumat, dengan penuh rasa cinta.
Ingatan itu membuat hati Bagas tersayat, ia merindukan istrinya. Penolakan Keira tadi siang membuatnya sedih. Ingin rasanya ia memeluk tubuh ringkih itu, dan mengatakan jika mereka tidak akan kenapa-napa meskipun ada Lala.
Suara dering ponsel menyadarkan Bagas, ia merogoh saku celananya dan melihat siapa yang menelpon. Keira?
Tanpa pikir panjang ia mengangkat panggilan, namun sayang sambungan terputus. Bagas yang yang tidak menyangka Keira menelpon disaat hubungan mereka merenggang sontak khawatir. Tidak biasanya istrinya itu akan menelpon jika mereka tengah berkelahi. Tanpa pikir panjang Bagas berjalan menuju mobil yang akan mengantarkannya ke unit apartemen Keira.
Tbc
![](https://img.wattpad.com/cover/333384786-288-k182184.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Itu ✔ (Tamat di Karyakarsa)
Ficção Geral"Nggak ada perempuan yang baik yang mau sama pasangan orang!" Teriak Keira menatap sengit ke arah Bagas. "Kei!" Teriak Bagas membalas teriakan Keira. Disini Bagas yang salah, bukan perempuan kecil yang tengah ia gandeng bahkan perempuan kecil itu s...