Bab 5

1.9K 76 5
                                    

Silakan yang mau baca duluan ada di Karyakarsa.

Link ada di bio

Selamat Membaca

Suasana ruang poli kandungan dilingkupi rasa haru dan bahagia, dimana Bunda Dara tak lepas memunajatkan rasa syukur atas kehadiran calon cucunya, begitu juga dengan Keira dan Bagas. Dimana janin yang dikandung Keira dalam keadaan baik, dan perkembangannya sesuai dengan usianya.

Sebelum memastikan kondisi kesehatan janin, Keira dilingkupi rasa takut jika janinnya kenapa-kenapa akibat ulah dirinya. Tapi semua ketakutan itu tidaklah terjadi.

"Ibu bisa dengarkan detak jantungnya?" Ucap dokter Obgyn yang menangani Keira, dokter yang bernama dokter Tono. Keira menatap layar hitam putih itu dengan pandangan haru, ada kehidupan di dalam tubuhnya. Dan sekarang ia tidak bisa egois.

"Tubuhnya masih kecil, jadi Ibu harus menjaga asumpan gizi agar janin bisa berkembang baik." Nasihat dokter Tono yang akan Keira lakukan. Keira sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk memberikan yang terbaik untuk calon anaknya.

"Kalau jenis kelaminnya, dok?" Tanya Bunda Dara dengan raut antusias. Lala, perempuan dan sekarang Bunda Dara berharap jika calon cucunya ini berjenis kelamin laki-laki, agar sepasang.

"Sudah bisa, tapi samar. Jadi kita tunggu aja bulan depan." Jawab dokter Tono, selesai melihat kondisi janinnya, Keira diberikan resep vitamin untuk menunjang tumbuh kembang janin.

"Jaga istrinya, biasanya trimester pertama ke kedua banyak hal yang terjadi. Dari mood istri yang hancur, hingga kadang makanan tak bisa masuk. Bapak harus sabar." Nasihat dokter Tono kepada Bagas. Bagas mengangguk, ia akan mencoba menjadi suami siaga. Bagaimanapun ini pengalaman pertama buatnya.

Selesai berkonsultasi, Keira, Bunda Dara, dan Bagas berjalan menuju apotek.

"Bunda pulang dulu ya, kalau Keira nggak mau pulang, pulang ke rumah Bunda nggak papa." Ucap Bunda Keira disaat mereka berpisah di depan apotek. Ada acara yang harus Bunda Dara ikuti.

"Keira nggak mau pulang Bun, paling ke apartemen." Jelas Keira menolak, ia belum bisa menerima kehadiran Lala, meskipun gadis kecil itu menggemaskan.

"Mana bisa. Kamu nggak ada teman disana."

"Nanti ada Alfi." Keira mencoba peruntungan agar terbebas dari Bagas.

"Alfi nggak bisa jagain kamu." Bagas menimpali, mana bisa ia jauh dari istrinya disaat hamil. Apalagi kondisi Keira yang masih labil.

"La terus Lala bagaimana?" Keira tidak ingin merebut kasih sayang anak itu.

"Lala bisa menginap di rumah Bunda." Kalau kaya gini, posisi Keira sangat lemah. Keira memutuskan untuk diam.

"Yaudah biar nanti Bunda telpon Bi Ayu buat nyiapin barangnya Lala." Putus Bunda Dara menengahi. Bunda Dara memeluk menantunya sejenak sebelum berpisah.

Setelah kepergian Ibu mertuanya Keira memilih untuk duduk dan memainkan ponsel, ia enggan menatap wajah Bagas. Setelah beberapa menit menunggu antrean, Bagas menebus vitamin Keira.

"Ayo pulang, vitaminnya sudah aku ambil." Ajak Bagas dengan tangan yang sudah mengambang di udara seolah meminta Keira untuk melengkapi jarinya. Namun sayang, Keira tidak menanggapi sikap manis Bagas dan memilih untuk jalan lebih dahulu.

***

"Lebih baik kamu pulang." Keira mencoba mengusir Bagas kembali, mereka telah selesai makan siang dan Bagas baru saja membersihkan tubuh.

"Kenapa? Aku masih suami kamu, Kei. Jadi jangan usir aku lagi." Dengan menggerakkan handuk kecilnya untuk mengeringkan air di rambut, Bagas menjawab.

Keira terdiam, netranya menatap pria itu dengan dengusan malas.

"Kalau kamu mau hukum aku, silakan. Tapi aku mohon jangan jauhkan aku dengan calon anak kita." Pinta Bagas.

Bagas terdiam, ia menatap ke depan seolah mengingat momen dimana dirinya selalu berbincang mengenai anak kepada Keira.
"Kamu ingatkan, Kei. Jika kita menginginkan anak empat." Bagas menatap wajah Keira, Bagas berusaha mengingatkan impian mereka dahulu.

"Nggak jadi. Satu aja." Jawab Keira cuek.

"Kenapa? Padahal kamu yang sangat suka punya anak, karena katamu dulu ingin menua dengan banyak anak dan cucu." Dibesarkan menjadi anak tunggal membuat Keira ingin memiliki saudara. Karena selama ini Keira merasa kesepian.

"Impianku sudah hilang." Bagas tercengang, apa maksud perkataan istrinya. Apakah ini karena kehadiran Lala?

Bagas mendekat, tetapi Keira mengisyaratkan untuk sebaliknya. "Nggak usah peduli karena aku hamil. Karena setelah apa yang terjadi aku sadar." Ucap Keira dengan nada penuh penekanan.

"Sadar apa?" Tubuh Bagas membeku, ia tidak mau kehilangan istrinya. Membayangkannya saja ia tidak bisa. Ibarat kata hidup Bagas ada di genggaman Keira.

Dengan kepala menunduk, kedua tangan Keira meremas satu sama lain. "Sadar jika pernikahan kita gagal."

"Kita tidak gagal." Bagas bersimpuh dihadapan Keira, ia meminta belas kasih untuk kedua kalinya. "Kita tidak gagal, apalagi kamu sebagai istri sangat sukses membahagiakan aku." Puji Bagas tulus.

Wajah Keira memanas, ia tidak bisa lagi harus berbohong jika itu menyangkut hati.

"Lala ada karena dia anakku, tapi tidak dengan ibunya." Lanjut Bagas dengan wajah yang meminta kesempatan kedua.

Selesai Bagas mengatakan itu, Keira menatap tajam ke arah suaminya. Ia tidak habis pikir akan jalan pikiran Bagas. Bagas mau anaknya tetapi tidak dengan ibunya? Lelucon apa ini?

"Nggak usah munafik. Kamu pasti menginginkan ibunya juga." Kedua tangan Bagas merengkuh tangan Keira, ini kesempatan Bagas untuk menjelaskan semuanya.

"Jika kamu berpikir Lala ada karena perselingkuhan maka kamu salah.... Lala hadir sebelum kita menikah."

"Itu tidak menutup kemungkinan kamu berkhianat kembali."

"Apa aku berkhianat setelah menikah? Tidak pernah, tapi aku melakukan kesalahan yang membuat Lala hadir itu sebelum pernikahan kita. Tetapi Ibunya Lala tidak pernah cerita akan kehadirannya."

Keira diam, ia enggan menatap wajah Bagas. "Dan setelah beberapa tahun berlalu, dia datang dengan Lala dan memberitahuku jika Lala anakku."

"Kamu tidak ingin menebus kesalahan?" Bagas menggeleng, "Kami semua salah, tapi mungkin ini juga sudah takdir. Jadi sekarang Lala yang jadi tanggungjawab aku."

"Mana bisa semudah itu? Apa perempuan itu tidak menuntut status?"

Bagas terdiam, ia bingung harus bercerita atau tidak. Tapi Bagas harus jujur kepada Keira, agar Keira tidak banyak pikiran. "Awalnya aku menawarkannya, tapi dia tidak mau. Tidak mau melukai hati kamu."

"Kamu pria bodoh, Bagas. Bodoh!" Amarah Keira bangkit, secara sadar Bagas menawarkan surga kedua dan itu tanpa sepengetahuan Keira.

Keira bangkit dan berjalan menuju kamar tidurnya, ia marah akan jawaban Bagas. "Kei, bisa aku lanjutkan dulu ceritanya." Tangan Bagas mencoba meraih pergelangan tangan Keira, namun Keira menolak. Bagi Keira, Bagas sama saja dengan laki-laki diluaran sana.

"Nggak ada lagi kesempatan, jika itu mengenai surga kedua yang kamu janjikan." Selesai mengatakan itu Keira menutup pintu kamar tidurnya dengan keras. Tubuhnya luruh di lantai dengan kedua mata yang sudah menangis.

Kenapa hatinya sakit setelah mengetahui kebenarannya?

Sebegitu tidak berharganya ia di hadapan Bagas?

Atau hanya dirinya yang mencintai disini?

"Istirahat ya Kei, aku istirahat di sofa." Bagas berbicara dari balik pintu.

Tbc

Masa Itu ✔ (Tamat di Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang