Kata orang mimpi itu adalah bunga tidur, entah itu sebuah mimpi indah atau mimpi buruk. Tidak ada yang benar-benar tahu dari mana asalnya, entah dari hati yang terdalam saat merindukan orang lain, atau trauma masa lalu yang masih berbekas.
Renjun terbangun dari tidurnya, ia diam seraya memeluk lutut erat. Menatap kearah luar jendela, dimana ia dapat melihat langit yang luas.
Renjun menangis lagi, untuk kesekian kalinya air matanya turun begitu saja. Luka batin yang belum tertutup itu belum juga terobati, Renjun lelah dengan semua ini. Ia ingin menyerah, entah itu terhadap dirinya atau terhadap anaknya.
"Maa.." suara Xhajun terdengar, Renjun menutup matanya. Ia memilih untuk menulikan telinga, ia diam. Bahkan disaat suara sikecil sudah meraung berteriak-teriak minta di perhatikan.
"Baby? Ya ampun, baby Juna kenapa menangis hemm? Baby lapar? Ayo kita turun ke bawah bersama baba."
Winwin datang dengan tergopoh-gopoh, ia langsung meraih Xhajun yang mengamuk. Menggendong si kecil kedalam pelukan hangatnya, mencoba menenangkan Xhajun dengan membawa balita itu ke ruang keluarga. Winwin pergi begitu saja, mengabaikan Renjun dalam diamnya.
Renjun tidak masalah, ia kembali diam memeluk lutut. Mencoba menenangkan kembali hati dan jiwa, mengabaikan suara tangisan Xhajun dari lantai bawah yang kian bertambah meronta.
Renjun takut, ia takut dengan dirinya sendiri. Ia juga takut dengan keberadaan Xhajun, ia takut dengan keluarganya. Renjun sudah benar-benar kehilangan jati dirinya, ia sudah terlalu muak berada di dunia ini. Ia kotor, bahkan setelah kejadian itu Renjun sudah tidak memiliki siklus heat selama dua tahun. Kenyataan itu juga kembali mengacaukan hidupnya, ia benar-benar sudah hancur sekarang.
Itulah yang ada di kepala Renjun, setiap hari ia hanya akan menyalahkan dirinya sendiri. Ia terlalu enggan untuk berusaha mengabaikan masa lalu, ia terlalu jauh berada di dasar Laut hanya untuk kembali kepermukaan.
"Renjun, Xhajun tidak ingin diam. Tidak bisakah kau membujuknya sekali saja?" Xiaojun datang dengan khawatir ke kamarnya, suara tangisan Xhajun menggema di seluruh penjuru rumah. Terdengar juga suara Winwin dan Shotaro yang menenangkan balita itu dengan segala cara, namun si kecil hanya menginginkan sang ibu.
"Renjun, kumohon. Kasihan Xhajun menangis, suaranya sampai serak" lagi, Xiaojun memohon lagi. Berharap hati sang adik tergerak untuk segera memeluk si kecil.
Namun faktanya Renjun hanya diam di tempat, kembali menulikan telinga dan mengabaikan sang kakak. Sampai akhirnya Xiaojun menyerah, kemudian pergi dari sana. Ia membantu ibu dan adiknya untuk menenangkan balita itu.
"Baby, hei. Sayang, mau eskrim? Kita beli eskrim ya?" kata Xiaojun mencoba mengalihkan perhatian balita gembul itu, si balita tidak ingin mendengar. Suara tangisannya kian bertambah besar, Shotaro ikut menangis panik disaat si balita tidak juga tenang.
Winwin datang membawa botol susu milik Xhajun, berharap balita itu akan tenang disaat bertemu dengan susunya.
"Ini minum, Xhajun, Xhajun, susu sayang, susu, minum susu ya, baby lapar kan?" Winwin mencoba memberikan susu itu pada Xhajun, tapi si balita masih meronta-ronta. Botol susu itu ia lempar hingga menggelinding kemana-mana.
"Xhajun, jangan seperti ini. Tenanglah, kita keluar ya? Mau main diluar?" Winwin, Xiaojun dan Shotaro kelabakan. Suara tangisan Xhajun tidak berhenti, bahkan setelah mereka mengeluarkan pheromones penenang untuk si balita. Xhajun masih tidak bisa tenang, tangisannya yang meraung-raung membuat Winwin dan dua putranya bingung.
Orang-orang yang mendengar tangisan si kecil, akan berfikir bahwa ia baru saja dilukai sangking kerasnya tangisan itu.
Tubuh Xhajun diambil oleh sebuah lengan kurus, ia dengan segera memeluk balita itu seraya mengusap-usap punggung Xhajun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last house [Guanren]
Fiksi PenggemarLangsung baca saja, saya tidak pandai merangkai sinopsis ••• BxB Omegaverse Alpha×Omega