Empat Puluh Satu

97 4 0
                                    


"Darimana saja kamu?" Suara berat Charles terdengar dingin menghentikan langkah panjang Gabriel. Pemuda itu berbalik badan kemudian menaikkan satu alisnya.

"Bagus ya. Sepertinya kamu sangat senang di skors jadi kamu bisa keluyuran kemana saja kamu mau."

"Aku lagi gak mau ribut sama papa."

Charles tersenyum sinis. Pria paruh baya itu menutup laptopnya lalu meminum kopi yang disediakan istrinya—Silvi.

"Tapi kelakuanmu selalu mengajak papa bertengkar."

"Terserah."

"Saya belum selesai bicara!" bentak Charles saat Gabriel hendak beranjak pergi. Pria paruh baya itu bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Gabriel dengan emosi.

"Apalagi, P—"

Belum selesai bicara namun satu tamparan berhasil mendarat di wajah Gabriel. Pemuda itu segera mengangkat wajah menatap mata Charles tanpa rasa takut.

"Kamu sudah kelewatan membangkang. Jawab saya, dari mana kamu?"

"Dari Mana pun aku papa gak akan pernah peduli. Bahkan apakah aku sudah makan atau belum, papa pun gak akan pernah peduli karena yang papa pandang adalah kekurangan aku."

"Jaga omongan k—"

"Aku di rumah pun papa gak peduli 'kan? Bahkan papa benci liat wajah aku makanya aku lebih memilih menghindar."

"Dasar kurang ajar!" Charles menggeram mengangkat tangannya ke udara hendak menampar Gabriel namun aksinya terhenti saat matanya bertabrakan dengan mata sendu anaknya. Tatapan penuh luka dan kesedihan. Gabriel tersenyum hambar.

"Kenapa, Pa? Kenapa aku berbeda? Apa aku bukan anak papa dan mama?"

"Cukup!"

"Aku cuma pengen tau dimana letak kesalahan aku?"

"Gabriel cukup!"

"Gak, aku gak akan berhenti—"

"Cukup saya bilang, cukup!"

Gabriel menunduk dalam mencoba menutupi kelemahannya. Nafasnya tercekat menahan untaian kata yang tertahan. Bentakan Charles membekukan tubuhnya membuat mulutnya tak bisa terbuka. Ia memejamkan mata erat menahan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata.

Cukup lama diam, Gabriel membuka mata kemudian mengangkat kepalanya menatap Charles.

"Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi 'kan? Aku pergi."

"Berhenti!"

Lagi dan lagi, suara berat nan tegas dari Charles menghentikan pergerakannya.

"Kamu tidak akan kemana-mana sebelum kamu menuntaskan semua kesalahan kamu!"

"Maksud Papa?"

"Malam, Pa."

Gabriel dan Charles menoleh bersamaan ke sumber suara. Di sana—Aira dan Orion baru saja memasuki rumah menghampiri keduanya.

Aira menoleh sekilas pada Gabriel disertai senyum sinisnya. Dia yakin kalau sang ayah sedang bertengkar dengan abangnya itu.

"Pa, jangan bilang—"

"Iya. Kamu harus minta maaf pada Orion saat ini juga!" potong Charles membuat senyum Orion mengembang sempurna.

"Om, gak perlu kok. Aku juga udah maafin dia."

"Gak usah sok baik kalau aslinya iblis!" sindir Gabriel dan langsung mendapat tatapan tajam dari Charles.

"Maunya lo itu apa sih, Bang? Orion itu datang kesini baik-baik dan lo malah perlakuin dia kaya gini." Kesal Aira.

One DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang