CHAPTER 6 | LUKA

9.5K 998 117
                                        

"Lo bilang Laut sama Banyu saudara kembar, kok bisa? Kenapa mereka nggak ada mirip-miripnya?" tanyaku seraya berjalan di samping Palung.

"Namanya aja bukan kembar identik," jawabnya.

"Si Banyu satu sekolah sama kita?"

"Enggak lah!" Tepis Palung. "Ya kali orang bisu kayak dia satu sekolah sama kita."

Aku berdecak. "Bahasa lo bisa diperhalus dikit nggak sih? Tunawicara gitu, kan lebih enak di denger."

"Bisu," ucap Palung kekeh.

"Terus kalau si Banyu nggak satu sekolah sama kita kenapa ikut Mas Laut masuk sampai parkiran?" tanyaku penasaran.

"Di belakang sekolah kita ada yayasan buat SLB. Si Banyu sekolah disana," jawabnya.

Aku yang semula memperhatikan Mas Laut di parkiran, mendadak kehilangan sosoknya.

"Eh, Mas Laut tadi kemana? Kok nggak ada," gumamku yang ternyata terdengar di telinga Palung.

"Biasanya sih nganterin adeknya sekolah di SLB dulu baru dia masuk kelas," kata Palung.

"Mas Laut emang penampilannya dekil gitu, ya? Kok dia ke sekolah naik sepeda onthel, sih? Kenapa nggak naik motor? Emang dia rumahnya dimana? Deket dari sini kah? Terus ngapain juga dia parkir sepeda di bawah pohon situ, kenapa ngga diparkirin deket motor-motor aja?"

Tanpa aku sadari aku memberondong banyak pertanyaan tentang Mas Laut kepada Palung.

"Lo kenapa jadi cerewet banget!" Sentak Palung. "Pakai segala ngepoin Mas Laut," nada Palung berubah tidak enak. Pun ekspresinya.

Kenapa dia begitu? Aku kan cuma sekedar bertanya, memangnya ada yang salah dengan pertanyaanku itu?

"Kagak tau gue, and i dont care anything about Mas Laut. Lagian lo kenapa sih mendadak ngepoin dia?"

Aku mengedikan bahu, "nggak tau juga, vibesnya beda aja gitu," jawabku.

Sepenglihatanku sepertinya hanya dia yang datang naik sepeda onthel, sementara murid-murid lainnya pada naik motor, BRT, atau naik daihatsu yang merupakan salah satu jenis angkutan umum yang sering dijumpai di Semarang.

"Udah, masuk kelas sana lo," ucap Palung setibanya di depan sebuah ruang kelas dengan papan bertuliskan IPS 3. Itu kelas baruku.

"Emangnya lo mau kemana?"

"Kelas gue lah. Kita beda kelas."

"Kenapa nggak sekelas aja?" tanyaku.

"Kelas gue cuma buat murid-murid pinter. Elo tolol."

Aku refleks menjitak kepala Palung. Ia terkekeh dan membalas dengan mengusap-usap puncak kepalaku. Ia mendorongku lembut supaya aku segera masuk kelas. Setelah itu ia berbalik pergi, berjalan menuju kelasnya sendiri yang berada di ujung sana.

"Katanya mau ada anak baru di sekolah ini, dia dari Jakarta."

"Ganteng nggak?"

"Cewek kok ganteng!"

Perempuan bername tag Bening itu mencebik. Sepertinya ia sudah berekspektasi tinggi kalau anak baru dari kota itu cowok cakep seperti yang ia lihat di drama-drama korea.

"Cantik."

"Nak karo aku ayunan ndi?"

[Kalau sama aku cantikan mana?]

"Ayunan dek'e lah! Badannya putih bersih."

[Cantikan dia lah!]

Laki-laki bername tag Duloh itu terlihat antusias menceritakan anak baru di kelas ini yang kemarin sudah sempat ia intip melalui kaca jendela ruang BK sewaktu aku dan Om Malbi melakukan pendaftaran sekolah.

Buih di Lautan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang