"Allahummaghfirlii, waa tub'alayya, innaka antat tawwabur rohim."
Kalimat terus menerus terucap dari bibirnya sembari ibu jari tangan kanan menghitung ruas-ruas jemarinya. Sesekali pandangannya menunduk ke sajadah, kadang tertuju pada sinar yang menembus ruangan melalui jendela.
"Sya!" Panggilan terdengar dari balik pintu, lalu terdengar pula daun pintu itu diketuk cepat. "Sya! Di luar udah lumayan banyak tamu yang datang! Udah siap belum?"
Sepasang kaki yang tadinya diam terlipat kini beranjak mendekat ke sumber suara. Selembar tangan berkulit putih lalu memutar kunci dan menarik turun gagang pintu di depannya. "Sebentar lagi, ya."
"Sebentar lagi?" ulang lawan bicaranya. "Lima belas menit yang lalu kamu bilang gitu juga, Sya! Ngapain kamu sebenarnya?"
Perempuan yang sedang diomeli itu malah tersenyum dengan wajah santai, "Salat. Duha dulu, Yas."
"Subhanallah, Syanum! Kan bisa empat rakaat atau dua rakaat aja. Yang lain lagi sibuk kamu malah makin khusyuk."
Perempuan bermukena yang dipanggil Syanum menganguk cepat sambil mengangkat telunjuknya ke depan bibir, "Iya, iya, iya, Yasmin. Aku pake hijab dulu, ya. Lima menit lagi, ya?"
Yasmin yang kepalang kesal menyeka keringat di keningnya dengan ujung lengan gamis. "Masyaallah ya hidup kamu. Bahagia, santai, tanpa banyak beban."
Syanum melangkah masuk kembali diikuti Yasmin. Ia tak akan mengambil hati ucapan sahabatnya yang asal bicara itu. Syanum sudah biasa mentolerir tindakan dan kalimat tajam Yasmin semenjak persiapan peresmian kedai mereka. Mungkin itu manifestasi dari bercampurnya pusing, bahagia, haru dan khawatir Yasmin dengan peresmian kedai yang akhirnya akan terjadi sejenak lagi.
Syanum melirik jam tangannya, melepas mukena yang sudah ia lipat sembarangan di atas sajadah lalu mematut diri dicermin. "Masih ada sepuluh menit sebelum acara dimulai."
"Kalo bisa datang lebih awal kenapa harus terlambat? Hari ini penting, Sya. Bukan sekedar peresmian, sekaligus promosi juga."
Syanum mengangguk. "Kalo acaranya berjalan lancar, media akan meliput kita. Terus, makin banyak yang tau dan berkunjung ke kedai kita," lanjut Syanum meniru persis seperti yang disampaikan Yasmin saat gladi bersih dua hari yang lalu.
Yasmin tersenyum lebar. Kekakuan di wajahnya sedikit memudar. "Aku harap acaranya berjalan lancar, baik, sesuai rencana. Aamiin," ucapnya meletakkan tangan pada sandaran kursi yang Syanum duduki.
"Aamiin. Insyaallah." Syanum memoleskan lipstik berawarna naturalnya sekali lagi. "Aku gak perlu ngomong apa-apa, kan?" tanyanya memastikan lagi agar dirinya tak menyentuh mikrofon sama sekali.
"Iya, Sya. Bu Bety udah hafal kok teks yang kamu tulis."
"Bener?"
"Iya. Tadi pagi udah aku tes. Lancar, mulus kayak jalan tol. Intonasi bagus, ekspresi oke."
"Alhamdulillah."
Yasmin menampakkan wajah heran. "Harusnya kamu itu tampil, Sya. Pasti besok-besok banyak yang datang..."
Syanum menangkat tangan kanan untuk mengintrupsi. "Kita jualan makanan, Yas. Aku bukan termasuk jenis makanan."
"Kan keren, Sya. Kedai SumSumi, makanannya enak dan unik, pemiliknya cantik, tempatnya estetik."
"Enggak."
"Sekalian tebar pesona, Sya. Mana tau calon jodohmu juga datang," goda Yasmin. "Ya, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sya,
SpiritualDulu sudah pernah Syanum berangan menikah dan bahagia. Sayangnya itu dulu, sebelum tragedi mengakhiri semua perjuangan Syanum tentang mimpinya membangun rumah bahagia. "Subhanallah, Sya. Aku akan menunggu. Pilihanku kuserahkan pada Allah. Allah akan...