Kaki Syanum tiba-tiba terasa lemas tak bertenaga. Menghadapi lagi Syakir dengan sikap dingin penuh selidik seperti itu membuat jantungnya berdebar tak karuan. Syanum membawa nampan ke meja. Diamatinya lebih teliti apa saja yang hadir di atas benda itu. Setengah mangkuk bubur polos dengan daun bawang dan seledri sebagai topingnya. Semangkuk kecil kuah, sepiring kecil kerupuk dan segelas teh.
Syanum menghela napas. Ia kembali termenung. Syakir, lagi-lagi tentang lelaki itu. Dia mengingat semua kebiasaan Syanum dengan baik, termasuk ketika dirinya berkelit dan bagaimana penyajian bubur yang Syanum suka. Memang, lima tahun bersama tentu akan meninggalkan bekas tentang kebiasan masing-masing pasangan. Begitupun Syanum, ia tak bisa menutup mata kalau tindakan Syakir merupakan tanda kepedulian. Syanum selalu terenyuh dengan bahasa cintanya sejak dulu. Namun sayang, bentuk perhatian yang sangat Syanum sukai itu kini dilarang ada diantara mereka.
Syanum terkejut ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan Yasmin menerobos masuk dengan wajah cemasnya.
"Ada apa?"
"Apa yang terjadi? Katanya mau ambil makanan, terus menghilang. Tau-taunya di sini, lagi makan sendirian," protesnya.
"Oh itu, tadi Mbak Nur datang, terus aku lupa," jawab Syanum sambil tersenyum. "Maaf, ya. Udah makan?"
"Belum." Yasmin melihat nampan di depan Syanum. "Tadi aku liat si Sya yang baru turun dari sini. Kalian saling kenal ya?" tanyanya penuh selidik. "Mbak Nur atau Syakir yang bikin kamu lupain aku, makan dan Syaqib?"
Syanum menjelaskan dengan lesu, "Mbak Nur. Terus aku ke sini buat mastiin lagi bingikisan yang udah disiapin buat anak-anak panti bawa pulang. Lumayan kan buat oleh-oleh mereka. Mereka pulangnya jauh, ke Muntok. Gitu, Yas."
"Bener?"
"Iya."
"Terus Syakir?"
Syanum menggeleng, "Mungkin dia ngambil foto dari atas sini?"
"Hmm." Yasmin seperti menerima alasan Syanum. "Syantik, Syantika. Nama itu cocok gak buat aku?" tanyanya sambil mengedipkan mata.
Syanum tertawa pelan atas gagasan tak terduga Yasmin. "Mendung," kata Syanum mengalihkan pembicaraan ketika merasakan adanya perubahan debit cahaya dalam kamarnya.
Yasmin juga melihat ke jendela yang setengah tertutup oleh tabir cokelat gelap terikat di samping. "Padahal barusan cerah."
"Allahumma shoyyiban nafi'an." Syanum mengangguk sambil mereka melihat butir-butir air mulai jatuh menghujani bumi. Dalam relung hatinya Syanum mengakui belum siap untuk berbagi kisah masa lalunya kepada siapapun. Ia ingin menikmati hidup yang sekarang sebelum cobaan berikutnya datang. Syanum sangat sadar dunia bukan tempat tinggal, tapi tempat meninggal. Syanum juga yakin bahagia yang sebenarnya hanya ketika kaki telah menginjak surga, dan dirinya harus bertahan sampai kebahagiaan abadi itu berhasil ia dapatkan.
Sekitar pukul 11 siang, ketika gerimis panjang berlalu kembali berganti cerahnya sinar matahari. Para tamu undangan yang hadir mulai berangsur pulang. Syanum akhirnya bisa lega setelah dilihatnya Syakir ikut meninggalkan kedai. Lelaki itu dan masa lalu mereka adalah rahasia. Begitu pula dengan bus yang membawa Mbak Nur dengan kilas balik hidup Syanum sebelumnya. Syanum hanya berharap yang terbaik bagi mereka dan dirinya. Bagaimanapun juga masa lalu, hidup tetap terus berjalan.
"Waktunya beres-beres!" seru sebuah suara penuh semangat. "Beres-beres! Kunci pintu. Gak boleh ada yang pulang duluan. Beres-beres! Jangan pulang sebelum kenyang!"
Syanum tersenyum mendengar kalimat bernada tukang jual makanan keliling tersebut. Begitu pula beberapa pegawai yang menimpalinya dengan celoteh serupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sya,
SpiritualDulu sudah pernah Syanum berangan menikah dan bahagia. Sayangnya itu dulu, sebelum tragedi mengakhiri semua perjuangan Syanum tentang mimpinya membangun rumah bahagia. "Subhanallah, Sya. Aku akan menunggu. Pilihanku kuserahkan pada Allah. Allah akan...