Bagian Delapan

463 45 2
                                    

Hanan sudah di perbolehkan pulang, tapi dengan banyak noted dari dokter.

"Mas jov mana jer" Hanan terduduk di atas kasur rumah sakit, dengan kedua kaki bergoyang menunggu jerry membereskan barang-barang miliknya.

"Kamu nanyea"

Brukh

Lemparan bantal dari Hanan mengenai wajah tengil jerry, pemuda berwajah kelinci itu mendelik tidak suka "sakit anying"

"Ya udah si maaf"

Jerry memgerling " jovan pulang duluan, ibu lo pulang kerumah lagi" jerry sudah selesai berberes "ayo pulang"

"Kerumah kamu lagi?"

Alis Jerry menaut "ya emang kemana? Mau pulang kerumah lo? Udah siap emang ketemu ibu?"

Hanan diam membisu, sorot matanya menyatakan kalau dia rindu ibu. Tapi rasa takut akan kejadian 10 tahun yang lalu kembali terus menghantuinya

"Nan? Kalau lo udah siapa ketemu ibu lo, gak papa pulang kalau belum turutin apa yang gue bilang"

Hanan memghela nafas, matanya terpejam "aku belum siap ketemu ibu"

Jerry mengusak surai hitam milik hanan "pelan-pelan aja nan, suatu saat ibu lo pasti sadar sama perbuatannya selama ini"





Udaranya masih sangat dingin, bahkan embun masih melekat pada dedaunan. Hanan mengeratkan jaket yang ia kenakan, memutuskan untuk jalan-jalan pagi sepertinya bukan pilihan yang salah

Samar-samar ia mendengarkan percakapan seseorang dari rumahnya, hanan melangkah kan kakinya menuju balik pohon yang berada di halaman rumah mereka.

Tersenyum sedih melihat wanita yang sudah bertahun-tahun ini ia rindukan, wanita yang selama ini tidak pernah tersenyum kepadanya, suara lembut yang dahulu hanya bisa diam-diam ia dengar kini masuk meruak ke pendengarannya

Meski terdengar samar hanan merasa senang mendengarnya setelah selang waktu yang cukup lama

Hanan hanya diam mematung di balik persembunyian nya, air matanya mengalir deras melihat sosok yang sedari dulu sangat membencinya, melangkah keluar dari kediamannya. Kakaknya ada di sana menatapi punggung yang selalu membelakangi mereka selama ini

Dengan langkah pelan hanan keluar dari persembunyiannya dengan air mata yang masi mengalir

"Ibu cantik ya mas, dari dulu sampai sekarang wajahnya gak pernah berubah"

Diam-diam air mata jovan lolos begitu saja, menarik hanan kedalaman pelukannya. Memeluk erat yang ia punya satu-satunya sekarang

"Hanan boleh iri kan? Hanan iri mas di peluk ibu, hanan iri setiap ibu pulang mas selalu bisa dengar suara ibu, hanan iri mas"

Hanan menangis keras dalam pelukan Jovan, memeluk kakaknya dengan erat tidak kalah dengan pelukan yang Jovan berikan "tapi hanan belum siap dengar cacian yang ibu berikan"

Tubuh Hanan bergetar kencang didalam peluakannya, Jovan meringis membayangkan seberapa sakit yang hanan rasakan "maaf dek, maaf,maafin mas yang gak bisa buat ibu yakin sama kamu"

"Maaf, maaf gak bisa ngilangin rasa benci ibu sama kamu"

Dulu Hanan selalu terduduk meringkuk dengan kedua kaki dilipat didepan dada, bersembunyi di bawa kasur kakaknya hanya demi mendengarkan dongengan dari ibu serta ucapan selamat malam, bersembunyi di antar tembok dan lemari piring hanya demi mendengar senandung kecil ibunya saat memasak

Hanan harus menahan semua yang ia inginkan hanya karena tidak mau membuat ibunya kesusahan. Bahkan hanan menahan lapar saat ibu pulang tanpa membawa pulang uang sepeserpun , hanan tidak mengeluh saat perutnya terasa sakit

Dulu hanan relah menjadikan dirinya sebagai pelampiasan emosi ibunya, dipukul saat ibu pulang-pulang dengan keadaan mabuk, mendengarkan cacian dan makian yang keluar dari mulut ibu dengan memasang kuping lebar, Hanan melakukannya supaya ibu bisa kembali tersenyum

Malam itu di sertai gemuruh dari langit, hanan memutuskan untuk berhenti melakukan semuanya saat ibu mengatakan dengan lantang bahwa Jovan yang hanya ibu inginkan. Ibunya mengatakan sangat jelas bahwa dirinya tidak mengharapkan hanan lahir kedunia, ibu juga mengatakan saat melihat wajah hanan saat itu membuat ibu ingin menghabisinya, ibu juga berkata saat hanan didekatnya hanya ada banyak kesialan yang menimpa ibu

Hanan kala itu sadar, ia harus pergi menjauh dari keluarganya sendiri. Malam itu, Hanan berlari kencang dengan isak tangis yang keluar dari belah bibirnya, yang dipikirkannya hanya satu, pergi manjauh. Tidak ada yang mengejarnya kecuali Jovan yang meneriaki namanya untuk berhenti, ingin mengejar sang adik, jovan tidak bisa karena ibunya menahannya

Hujan di sertai gemuruh dari langit membuat tangis Hanan terpendam, Hanan meringkuk di bawah lampu jalanan. Tubuhnya gemetar menahan dinginnya malam, ibu benar-benar membiarkannya pergi. Tidak lama setelah itu, Jovan datang menjemputnya.   Mengatakan bahwa ia tidak lagi memerlukan sosok ibu. Hidup dengan adiknya yang manis lebih dari cukup untuk nya.

Hananta | Jeno Haechan |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang