〚 PROLOGUE 〛

1.5K 157 24
                                    

Jimin dan Taehyung berdiri di atap gedung dengan jarak sekitar 5 meter yang membentang diantara mereka. Akhirnya, setelah belasan tahun tak berjumpa, dua sejoli itu bisa kembali bertatap muka.

Jimin membasahi bibir sembari menelan pelan salivanya. Ini seperti mimpi. Melihat Taehyung berdiri di depannya tanpa suatu kekurangan terasa seperti ilusi baginya. Ada bongkahan hati Jimin yang terasa meletup-letup bahagia, bak petasan kembang api tahun baru. Ada juga bagian hatinya yang merasa sedemikian haru.

Jimin bersyukur. Sahabatnya bisa hidup dengan baik meski tanpa dirinya.

"Apa kabar ... Taehyungie?" Suara Jimin melantun, membelah sunyi yang hanya diisi oleh desir angin dan samar-samar bunyi hiruk-pikuk jalanan di bawah sana.

"Aku senang, kau tumbuh dengan baik, Taehyungie." Jimin berujar lagi. "Aku juga senang, kau bisa berbahagia setelah aku pergi."

Taehyung tak menjawab. Sorot matanya nampak dingin dan tajam, bak belati es yang siap menghujam serta membekukan jantung Jimin detik ini juga.

Dari sini, Jimin sadar. Taehyungie yang berdiri tak jauh darinya itu bukanlah Taehyungie manisnya yang dulu. Mereka orang yang sama, namun di saat yang bersamaan juga berbeda. Apa gerangan yang telah membuat sahabatnya berubah sedemikian rupa seperti ini?

Seingat Jimin, wajah datar nan dingin seperti itu sangat bukan Taehyung sekali. Sebab, Taehyung yang ia kenal tak akan ragu mengumbar senyum manis, bahkan kepada orang asing sekalipun. 

"Taehyungieㅡ"

"Taehyungie?" Taehyung menyela kalimat Jimin. "Kau panggil aku Taehyungie?"

Alis Jimin bertaut tipis. "Kau ... benar Taehyungie 'kan? Aku baca surat yang kau taruh di meja kafe. Dan aku tau betul, hanya aku dan Taehyungie yang paham tentang Geri dan perang cacing."

Taehyung tersenyum, bukan jenis senyum yang sedari dulu amat Jimin kagumi. Senyum Taehyung berbeda. Seringai yang membingkai bibirnya nampak tak serasi untuknya.

Taehyung ada di sini bersamanya. Namun, Jimin merasa Taehyung yang ini terlalu asing untuknya. Terlalu sulit ia kenali.

"Kau lucu, Jimin. Kau ingat perkara Geri dan perang cacing, namun tak ingat dengan janjimu."

Jimin lantas menatap Taehyung tepat di kedua matanya. Di sana, diantara dingin yang membekukan, Jimin dapat menangkap guratan lelah bercampur luka. Kenapa? Ada apa dengan Taehyungnya?

Jimin maju selangkah. "Taehyung-ah ... ada apa? Apa kehidupanmu bermasalah? Ada yang mengganggu pikiranmu? Atauㅡ"

"Jim, dulu kita punya dua janji. Dan kau sudah mengingkari janji yang pertama," ujar Taehyung, membanting topik pembicaraan mereka sebab tak mau berbasa-basi. "bukankah kau pantas mendapat hukuman karena meninggalkanku?"

Jimin ingat janji pertamanya dengan Taehyung belasan tahun silam. Janji itu bahkan tak pernah luruh dalam ingatannya, sebab Jimin juga merasa luar biasa bersalah telah meninggalkan Taehyung sendirian di sana. Di panti asuhan.

"Kau boleh melakukannya, Tae. Aku akan menerima hukuman apapun yang kau berikan." Jimin berujar mantap.

"Well, aku tidak tau ini hukuman atau bukan, tapi ..." Taehyung menghela napas dal sebelum kembali berucap. "kau percaya pada ku bukan?"

Jimin membatu untuk sekian detik kemudian, apalagi saat mata Taehyung memerangkapnya. Tatapan itu melembut, setengah tak berdaya dan putus asa.

"Sangat percaya," sahut Jimin.

Akan tetapi, netra sabit sang empu sukses membulat tatkala melihat jemari Taehyung mengeluarkan sebuah revolver dari saku jaketnya.

"Kenapa? Kau terkejut?" Taehyung bertanya santai saat mendapati ekspresi tegang Jimin.

"Tae, ituㅡ"

"Ini revolver. Satu tembakan akurat saja mampu menembus jantung dan menghentikan detaknya." Taehyung menatap seraya membolak-balik senjata api di tangannya.

Lalu, pemilik surai jelaga tersebut menutup sebelah matanya dan mengarahkan moncong revolver itu tepat ke bagian dada kiri Jimin. Tempat sumber kehidupan sang empu.

"Bagaimana kalau pelurunya mengoyak jantungmu ya, Jim?"

Jantung Jimin sukses bertalu kencang, menggedor rongga dadanya begitu keras seolah minta di selamatkan. Rasa panik pun perlahan mulai menggerogoti Jimin hingga bagian terkecil hatinya. Tidak. Kenapa sahabatnya berujar demikian?

"Taeㅡ"

"Mari mati bersama, Jim."

~~~

ㅡyoursunrisegirl, 27 Juni 2023

~~~

Sunrise_notes
Aku balik lagii bawa cerita dengan nama nonlokal (akhirnya 2U punya temen☺️). Seperti yang sempet aku bilang, ini tuh short story. Jadii, panjang chapter-nya ngga akan jauh beda kayak Gilang kemarin. Mungkin kisaran 500-1500an kata.

Ini pertama kalinya aku nyoba nulis tema gini. Wish me luck yawww, xixixi.

Oh iya, cerita ini mengandung banyak adegan kekerasan dan menyebutkan pembun*han. Harap bijak dalam membaca yaa! TIDAK UNTUK DITIRU.

Broken Promise [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang