"Luna kamu beri makan pasien ya"
Luna, dirinya baru saja keterima di rumah sakit jiwa ini. Cita-citanya ingin merawat mereka sampai sembuh, keluar dari dunia yang orang-orang menganggap mereka gila. Mereka hanya terganggu mental nya, mereka semua bisa bahasa manusia, makan, mandi, semuanya berlagak manusia normal, tetapi orang-orang menganggap mereka semua gila.
Luna ingin sekali mencomot bibir mereka yang menyebut semua orang di rumah sakit itu gila, ingat mereka hanya terganggu mentalnya. Mereka memang sering berimajinasi sendiri, manusia normal juga seperti itu 'kan? Lalu mereka mengapa memanggilnya dengan sebutan aneh itu?
"Siap, kak" Luna mendorong rak berisi makanan ke lorong rumah sakit. Luna melihat mereka dari jeruji besi, ada yang tertawa sendiri, ada yang mengobrol, ada yang menggambar di tembok, ada yang tidur, ada juga yang meronta-ronta tidak mau di mandikan.
Sampai Luna melihat salah satu pasien yang duduk di pojok ruangan, menenggelamkan wajahnya di kedua lutut sambil menggerakkan tubuhnya ke kanan-kiri.
Ia masuk ke dalam ruangan itu dengan kedua tangannya yang membawa nampan. Ini pertama kalinya Luna menyuapi pasien, semoga saja Luna tidak kelepasan membentak.
"Hai? Ayo makan dulu" saat Luna ingin memegang pundak pasien yang terlihat seperti seumuran nya, dia beringsut mundur tanpa melihat Luna.
"Aku ga jahat, aku baik, ayo makan. Aku suapin kok, jangan takut ya? Udah nangis nya ya, sini duduk deketan" mendengar penuturan Luna yang lembut, pasien tersebut perlahan mendongak dengan wajah ketakutan. Luna tersenyum manis melihat nya.
Sedetik kemudian ia menatap wajah mulus milik pasien itu, ada luka di pelipis kanan nya, rambut yang lepek akibat keringat, hidung yang merah, mata yang sembab serta bibir yang sangat bergetar. Luna hanya bisa mendeskripsikan nya dengan kata 'tampan'.
"Aku ga jahat, kamu makan dulu ya? Ayo sini" Luna meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di ranjang, ia menuntun pasien itu untuk duduk di samping nya.
Luna memberikan satu suapan dan dia dengan ragu menerima suapan itu. Luna tersenyum manis melihat dia menerima suapan nya.
Diam-diam pasien melihat nametag Luna di dada kiri nya. Pasien itu takut jika perawat ke ruangannya, ia selalu di bentak jika tidak mau makan, tetapi sekarang Luna yang masuk ke dalam ruangannya dan mengeluarkan tutur kata yang sangat lembut.
Suapan Luna ia terima sampai sekarang suapan terakhir. Luna lagi-lagi tersenyum dan membantu pasien untuk meminum air mineral.
"Nanti aku ke sini lagi ya? Aku ke pasien lain dulu terus ke sini buat obatin luka kamu. Dadah" Luna melambaikan tangannya dengan senyum yang merekah.
Ia masih memasang wajah takutnya melihat Luna, Luna memakluminya.
Luna kembali berjalan ke ruangan-ruangan lainnya, menyuapi satu-persatu pasien seperti ia menyuapi pasien pertama tadi. Ia sungguh tak sabar ingin ke ruangan tadi, entah ada apa dengan dirinya sendiri. Ia ingin sekali merawat pasien tadi hingga sembuh serta ingin melihat senyumnya saat ia berada di depan dirinya.
"Kak, aku udah suapin semua pasien di sini—"
"Iya kamu boleh istirahat dulu terus ke agenda selanjutnya ya."
"Okey, Luna mau obat P3K nya boleh? Ada pasien yang luka" lontarnya seraya menyodorkan tangannya ke seniornya.
"Ada-ada, sebentar ya" Luna mengangguk, ia menunggu sambil mengetukkan telunjuk nya di meja. Dengan senyum yang mengembang setelah mendapatkan kotak P3K yang ia mau, Luna berlari ke ruangan tadi dengan tangan kanan membawa kotak P3K.
"Hai, ini aku lagi" pasien itu masih seperti tadi. Menelungkup kan wajahnya di sela-sela lutut dan tangannya yang ia lipat di di atas lutut, menggerakkan tubuhnya ke kanan-kiri seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rest For The Soul
Teen Fictiondi dalam sel hanya satu lelaki yang menarik perhatian Luna. Lelaki dengan sorot mata kalut, takut untuk melihat siapapun. Kepala yang selalu ia tenggelamkan pada sela-sela lengannya, tubuh yang selalu berkeringat juga luka baru yang menyita perhatia...