GamaLuna

31 3 0
                                    

Suasana rumah orang tua Luna tegang. Luna duduk di samping Gama sambil menggenggam erat tangan Gama. Luna menatap mereka penuh amarah saat ingin membawa Gama lagi ke rumah sakit. Mereka menemukan alamat rumah ini, entah dari mana yang terpenting Luna menyumpah serapah orang yang telah memberitahu alamat ini.

"Dia hak kami."

"Dia ga mau." Balas Luna.

"Kamu ada hak atas nama dia?"

"Memang ngga ada, Gama di sana ga dapet hak nya sama sekali dari kalian. Rumah sakit itu neraka bagi Gama, karena itu Luna bawa Gama ke sini."

"Ngga, dia harus kembali ke sana."

"Apasih kak?! Kalau kalian bawa Gama, Luna bakal tuntut rumah sakit jiwa itu."

"Punya apa kamu?!"

"Gama yang menuntut, bukan Luna." Seringai Luna.

Semuanya skakmat, kak Rima, kak Fajar dan pihak rumah sakit lainnya kalah telak. "Kalau ada saudara nya yang menjenguk, saya kabarin kamu, bawa dia ke rumah sakit."

"Untuk apa? Saya yang merawat kali ini. Tidak ada lagi yang namanya Gama menginjakkan kaki di rumah sakit lagi. Sekalipun saudara nya mau menjenguk." Balas Luna dengan nada yang terkesan santai namun tajam.

Mamah Luna mengelus punggung Luna yang tengah emosi. Gama menatap mereka semua tanpa ekspresi, tentu mereka terkejut karena Gama selalu menunjukkan ekspresi ketakutannya saat melihat orang apalagi pihak rumah sakit.

"Kamu mau ikut Luna atau kembali ke rumah sakit."

Luna geram. "Un—"

"Diam, saya tanya dia bukan kamu."

"Luna. Untuk apa di sana dengan kalian yang tidak bisa memanusiakan manusia?"

"Gama?" Luna tercengang mendengar kata-kata Gama. Kesekian kalinya Luna di buat tercengang dengan kata yang keluar dari mulut Gama.

"Sudah tidak ada lagi yang perlu di bahas, silakan pergi dari sini."

***

Di sini Luna dan Gama sekarang, di teras rumah malam-malam. Pukul 20.00 yang harusnya Gama harus bersiap-siap untuk tidur, tetapi gagal karena Gama merengek ingin melihat hujan yang turun di luar bersama Luna.

Gama mengetatkan jaket yang di pakaikan oleh Luna. Senyumnya tak pernah luntur seiring dengan turunnya rintik hujan, Luna memperhatikan 2 indahnya ciptaan Tuhan, hujan, dan Gama.

"Dingin kan? Ayo masuk aja." Ajak Luna kesekian kalinya.

"Ngga mau, Na. Gama mau duduk di sini sampai hujan nya selesai." Kesekian kalinya juga Luna di tolak.

"Gama, hujannya ga akan selesai sampai pagi. Gama mau di sini sampai pagi? Di temenin hantu di pohon mangga itu? Kalau Luna sih gamau, Gama aja sendiri di sini. Luna takut." Berbohong demi kebaikan gapapa kan:)

"Memang ada hantu, Na?"

"Ih ada! Gama gatau ya? Luna mau masuk ah, takut!" Luna berdiri kemudian di susul oleh Gama yang berlari masuk ke dalam membuntuti Luna.

"Gama bobo ya sekarang? Nanti ada hantu lho? Luna temenin sampai Gama bobo ya." Luna membawa Gama masuk ke kamar, tanpa melepas jaket nya, Gama tidur memeluk guling dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Luna di sampingnya sedang menepuk-nepuk kepala Gama seraya bernyanyi agar Gama mudah terlelap.

Luna menunduk untuk melihat Gama, Gama tertidur pulas sambil memeluk lengannya. Perlahan, Luna melepaskan tangannya dari pelukan Gama, mengganti nya dengan guling lalu menaikkan selimut sampai ke dada.

Rest For The SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang