03. Rasa Iri

736 61 9
                                    

Sepulang dari rumah sakit, Lintang dan juga Gentala menyempatkan diri mereka untuk berkunjung di kediaman sang ayah. Karna Fahendra meminta sembari memohon pada kedua anaknya. Ingin menolak, namun Lintang merasa tidak enak pada ayahnya. Jadi tak ayal jika dirinya tetap menyetujuinya.

Hari ini, kembali Lintang melangkahkan kakinya ke tempat yang sama. Tempat dimana sebuah luka selalu menggoresi hatinya terus-menerus.

Lintang menatap kearah Gentala, dalam sekejap dirinya dapat melihat dengan jelas amarah besar yang tengah abangnya itu tahan mati-matian. Lintang menghembuskan nafasnya, guna menetralkan detak jantung yang berdegup tidak karuan.

Perlahan, tangan miliknya menggenggam dengan erat tangan sang abang yang sudah terkepal sempurna. Gentala menolehkan kepalanya ketika merasakan kulit keduanya bersentuhan. Menyadari kekhawatiran sang adik, lantas dengan terpaksa ia angkat bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman. Hendak memberitahu bahwa dirinya baik-baik saja. Walau nyatanya, ia berbohong.

"Kenapa mala diem? Ayo masuk." ucapan sang ayah sukses membuat keduanya menggangguk patuh.

Keduanya masuk ke dalam rumah minimalis yang terlihat megah itu. Dari sini, keduanya sudah dapat melihat bertapa hangat dan bahagianya suasana rumah ini.

"Lintang? Gentala? Kapan nyampenya, nak? Sini duduk dulu." Seorang wanita paruh baya menyambut dengan hangat kehadiran keduanya. Binar bahagia begitu kentara menghiasi wajah cantiknya saat melihat kehadiran dua remaja laki-laki, yang sudah dirinya anggap sebagai anak sendiri. Lantas ia bangkit dari posisinya yang sedari tadi duduk di sofa, untuk berjalan mendekati Lintang dan juga Gentala.

Lintang membalasnya dengan sebuah senyum tipis, berbanding terbalik dengan Gentala yang hanya diam tanpa mau menghiraukan sedikitpun.

“"Bunda tadi masak banyak makanan enak. Kalian berdua mau makan? Kita makan bareng-bareng, ya?" Mentari—istri baru sang ayah berucap dengan ramah.

Di saat istri baru ayahnya mencoba meraih tangan miliknya, Gentala segera menjauh dan segera pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Semua yang menyaksikan itu, hanya mampu diam tanpa berniat untuk menghentikan Gentala.

Lintang memandanggi wajah wanita paruh baya dihadapannya. Setelahnya dirinya berucap lembut, "Bunda, maafin sikap abang, ya?"

Walau hatinya terluka, namun tak ayal Mentari tetap tersenyum sembari berucap, "tidak apa-apa." Lagi pula, Mentari sudah terbiasa menghadapi sikap tidak mengenakan yang selalu Gentala tunjukkan untuknya. Walau Gentala hanya datang sesekali ke sini, tetap saja sikapnya itu tidak pernah berubah. Tidak apa, Mentari dapat memahami perasaan Gentala.

"Ayah, aku nyusul abang dulu, ya?" Fahendra menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan anak bungsunya.

"Kamu disini aja, biar ayah yang bicara sama Gentala." ucapan itu terlontar. Pandangan mata Fahendra beralih menatap Lintang, berusaha meyakinkan.

Mau tidak mau, Lintang lantas menyetujui.

***

Di sinilah Gentala sekarang, duduk diam di atas rerumputan kering tanpa alas apapun. Gentala tetap diam di posisinya tanpa melakukan apapun. Pikirannya berkecamuk, perasaannya terasa tidak karuan.

Gentala menyesal bersikap seperti itu pada Mentari, namun rasa sakit dan kenangan buruk beberapa tahun lalu masih membekas dihatinya. Jujur, Gentala ingin mencoba menerima semua ini, namun hatinya menolak.

Gentala tidak bisa seperti Lintang. Gentala terlalu egois.

Jika Lintang membuka hatinya dan menerima, berbanding terbalik dengan Gentala yang menutup hatinya tanpa mau menerima kenyatan menyedihkan ini.

HAPPINESS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang