18. Kenapa Harus Sesakit Ini, Tuhan?

764 61 14
                                    

Gentala diam sembari menatap Lintang yang terduduk kaku di samping ranjangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gentala diam sembari menatap Lintang yang terduduk kaku di samping ranjangnya. Adiknya itu terlihat gugup, hingga tidak mampu mengeluarkan sepatah-kata pun. Melihat Lintang yang seperti itu, rasanya Gentala ingin tertawa saja.

“Kenapa diem aja, hm?” cukup lama terdiam, akhirnya Gentala memilih untuk memulai pembicaraan.

Lintang langsung menatap kearah Gentala sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia gugup sekali. Sungguh, Lintang rasanya belum siap berhadapan langsung dengan Gentala. Padahal, tadinya ia bersemangat sekali ingin bertemu. Untuk saat-saat seperti ini rasanya Lintang ingin sekali merutuki Kalandra karna sudah berani-beraninya membohonginya. Ternyata Gentala sama sekali tidak tidur, abangnya itu mala tampak sibuk melamun entah sedang memikirkan apa. Padahal Lintang tadi berniat untuk melihat kondisi Gentala tanpa berkomunikasi.

“Abang... ” Lintang menjeda ucapannya. Otak miliknya tengah sibuk merangkai ucapan kata maaf untuk sang abang.

Melihat Lintang yang terlihat takut dan juga gugup, membuat Gentala mengulum bibir kala rasanya tidak kuat lagi menahan tawa. Apakah Lintang berpikir ia marah padanya?

“Maafin aku, ya? Maaf karna udah bersikap kaya gitu sama abang. Aku salah, maafin aku abang. Aku nyesel. Seharusnya aku ngga ngomong gitu,” ujar Lintang penuh akan rasa bersalah. Kepala anak itu menunduk sembari mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Lintang menyesal.

“Abang maafin,” balas Gentala singkat dengan senyuman tulus yang kini terpancar di bibirnya.

Lintang menggangkat pandangannya untuk menatap Gentala. Mata milik remaja laki-laki itu tampak berkaca-kaca dan siap untuk menjatuhkan cairan bening itu sebentar lagi.

Gentala terkekeh, dan mendekat ke arah sang adik, lalu memeluknya dengan erat.

“Kamu hebat banget karna sudah berani mengakui kesalahanmu, lalu meminta maaf secara tulus. Adek abang hebat,” ujar Gentala sembari mengeratkan pelukkannya.

Lintang terisak didekapan Gentala. Air mata milik anak itu terus turun pertanda bahwa dirinya benar-benar menyesal.

“Udah nangisnya, abang udah maafin adek,” Gentala berucap lembut sembari mengelus puncuk kepala sang adik.

Lintang tidak menjawab, dirinya tengah sibuk menahan suara isak tangis yang setiap detiknya semakin keras terdengar.

Gentala melepaskan pelukkannya perlahan, lalu menangkup pipi tirus milik Lintang. Gentala usap secara perlahan air mata yang terus turun dari pelupuk mata sang adik.

“Nangisnya jangan sering-sering, ya? Mata kamu jadi keliatan bengkak.” Gentala mulai menasehati.

“Kalo nangis terus, mata kamu bisa bengkak kaya bakso,” gurau Gentala diiringi tawa kecil.

Lintang yang mendengar itu sontak memasang wajah kesal dan menatap Gentala dengan tatapan tajam. Gentala hanya mampu terkekeh pelan kala melihat respon dari sibungsu.

HAPPINESS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang