Lintang diam mematung di tempat ketika mendengar ucapan Gentala barusan. Untuk pertama kalinya, Lintang mendengar Gentala mengeluh tentang penyakit yang dideritanya. Lintang menatap dalam Gentala yang saat ini tengah menundukkan kepalanya.
“Maaf juga, karna aku gagal jadi adik yang baik untuk abang. Maafin adek abang yang tuli ini,” ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Lintang.
Mendengar itu, tentu membuat Gentala terkejut bukan main. Ia alihkan pandangannya menatap kearah sang adik dan mulai berucap, “maksud kamu apa ngomong begitu?” tanya Gentala dengan sorot mata tajam menusuk.
“Kenapa abang marah? Bukannya aku memang tuli?” Lintang terkekeh setelah mengucapkan itu. Rasanya, semua hal yang ia dengar setiap harinya dari Gentala, mendadak terasa seperti omong kosong belaka. Lintang kecewa dengan ucapan Gentala barusan. Sangat kecewa.
Gentala menatap Lintang dengan pandangan tidak percaya. Apakah sedikit keluhan yang baru saja dirinya ucapkan seburuk itu didengar oleh Lintang?
“Kenapa abang diam? Kenapa abang ngga ngomong dan ceramahin aku lagi?” entah mengapa, mendadak saja nada bicara Lintang terdengar begitu menusuk diindra pendengaran Gentala.
Lintang menatap Gentala dengan pandangan yang terlihat penuh akan kebencian. Orang yang selama ini selalu mengajarkannya untuk hidup dengan rasa syukur dan jangan pernah mengeluh, nyatanya tidak bisa menepati ucapannya sendiri.
“Lintang, maafin abang. Jangan gini lagi, ya?” Gentala mengalah, dirinya lebih memilih untuk meminta maaf dan mengakhiri kesalah pahaman kecil ini.
Ini hanya masalah kecil, namun Lintang mala membuatnya menjadi masalah besar. Gentala tau, pikiran adiknya itu tidak stabil karena banyaknya masalah yang menimpah akhir-akhir ini. Jadi, tidak ada gunanya juga ia menasehati atau menyikapi tindakkan adiknya ini. Yang ada, Lintang mala semakin merasa sakit nantinya.
Mendengar tidak adanya jawaban yang keluar dari mulut Lintang, membuat Gentala mulai berucap kembali.
“Kamu kenapa hm? Ada masalah? Ayo cerita ke abang, nanti abang dengerin.” tawar Gentala berusaha membujuk sang adik.
Bukannya merespon dengan baik, Lintang mala berucap dengan kasar. “abang ngga akan ngerti, ngga ada gunanya cerita.”
“Abang bakal berusaha ngertiin kamu,” balas Gentala tenang. Sama sekali tidak ada amarah yang dirinya tunjukkan untuk keras kepala sang adik.
“Hidup abang selalu berjalan baik, bang. Abang ngga akan mengerti dengan alur rumit hidup aku. Jangan sok peduli. Aku benci itu!” sarkas Lintang kasar.
“Lagian, apa juga yang bisa dimengerti oleh orang sakit-sakitan kaya abang? Abang cuman bisa nyusahin aku,” ucapan itu sukses membuat satu tetes cairan bening keluar begitu saja dari mata milik Gentala.
Gentala sungguh tidak masalah jika Lintang memarahi atau sekedar memaki-maki dirinya, hanya saja saat ini, Lintang mulai membawa-bawa penyakit yang selama ini dideritanya. Dadanya terasa sesak luar biasa saat Lintang berucap seperti itu. Sakit. Sakit sekali.
Setelah mengatakan itu, Lintang segera pergi dengan kepala yang terasa berisik luar biasa. Perasaan gelisah mulai menggerogoti hatinya setelah melihat sang abang yang menangis karena ucapanya barusan. Sungguh, Lintang benar-benar tidak bermaksud mengucapkan kalimat barusan. Bahkan disaat seperti ini, rasanya Lintang mulai tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
Gentala hanya menatap punggung sang adik yang terlihat mulai menghilang dari pandangan matanya tanpa berniat untuk menghentikan. Gentala mulai memukul-mukul dadanya yang terasa sesak dengan kuat. Nafas milik Gentala memburu dengan keringat yang mulai bercucuran dibagian keningnya.
***
Tubuh kecil miliknya berlari sekuat tenaga membelah lorong rumah sakit yang dipenuhi banyak orang. Mata miliknya mulai berkaca-kaca dengan pikiran yang berkecamuk. Semuanya kacau.
Lintang menghentikan langkah miliknya setelah sampai dihadapan ruang rawat sang kakak. Tepat dihadapannya saat ini, sesosok wanita yang kehadirannya ia rindukan tengah berdiri di depan pintu yang tertutup rapat.
Indah menatap putra bungsunya dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Namun setelahnya, kaki jenjang miliknya melangkah untuk mendekati Lintang.
“Bisa jelaskan apa yang terjadi?” suara dengan nada rendah milik Indah langsung menyapa indra pendengaran milik Lintang.
“Abang kenapa bunda?” bukan jawaban, melainkan pertanyaan yang Lintang lontarkan kepada sang ibunda.
Lintang benar-benar tidak tau dengan apa yang terjadi pada Gentala. Tadinya, setelah percakapan singkatnya dengan Gentala, Lintang langsung pergi menuju kelasnya dan meninggalkan Gentala sendirian di sana. Setelah pulang sekolah ini, Lintang hendak meminta maaf pada sang abang. Lintang terus mencari Gentala disetiap tempat, namun usahanya berakhir sia-sia. Mengenai Gentala yang berada di rumah sakit, perawat yang bekerja di UKS lah yang memberi tau.
“Kamu apain Gentala? KAMU APAIN ANAK SAYA?!” Indah mendorong tubuh Lintang dengan kuat, hingga membuat tubuh kecil milik remaja itu terdorong ke belakang.
Lintang menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk membalas pertanyaan barusan. Satu kata pun tidak mampu dirinya ucapkan akibat terlalu takut dengan pandangan menakutkan yang ditunjukkan sang ibunda untuknya.
“KENAPA GENTALA BISA SAKIT KAYA GITU HAH?” dengan air mata yang mulai bercucuran Indah berteriak kencang tepat dihadapan wajah Lintang. Bahkan kedua tangan miliknya mulai memukul-mukul bagian dada Lintang dengan kuat. Sesak. Rasanya Indah bisa mati akibat rasa sakit yang menghantam dadanya setelah melihat kondisi Gentala barusan.
“KAMU APAIN GENTALA HAH?! JAWAB!” Indah terus berteriak ditengah-tengah lorong rumah sakit yang sepi.
Lintang diam seribu bahasa. Rasanya, bibirnya terlalu keluh untuk menjawab. Ini semua salahnya. Harusnya tadi Lintang tidak meninggalkan Gentala sendirian. Harusnya tadi Lintang bertanya mengenai kondisi sang abang. Harusnya tadi ia tidak perlu bersikap bodoh dengan terus menyalahkan bahkan mengucapkan banyak kalimat yang bisa saja menyakiti Gentala. Lintang menyesal. Sangat menyesal.
Indah benar-benar emosi ketika hanya melihat Lintang yang terus diam tanpa mau menjawab pertanyaannya. Terlampau kesal, tangan miliknya dengan lancang menampar pipi tirus milik Lintang.
Wajah Lintang langsung tertoleh kesamping setelah mendapat tamparan itu. Tamparan yang tadinya dilayangkan Indah benar-benar kuat, hingga mampu membuat alat bantu dengar milik Lintang terlepas dan langsung jatuh menghantam lantai dingin rumah sakit.
“Anak sialan seperti kamu pantes dapat itu! Pergi sana! Jangan berani-berani mendekati Gentala lagi!” sentak Indah kasar.
***
Jangan lupa tinggalkan vote serta komentar ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPINESS [END]
Fanfiction[PART LENGKAP] Hanya satu yang Lintang inginkan di dalam hidup. Lintang hanya ingin bunda dapat mencintai dan menyayanginya sama seperti sang abang. Hanya itu. Namun keingginan kecilnya tidak pernah sekalipun dapat terwujud. Namun, diakhir hidupnya...