04. Rasanya, Tidak Pantas Untuk Mengeluh

577 71 14
                                    

Lintang menghembuskan nafasnya secara perlahan terlebih dahulu sebelum memasuki rumah. Entah mengapa, namun perasaannya mendadak tidak enak saat ini.

Benar saja, sebelum Lintang sempat melangkahkan kakinya untuk masuk, Indah sudah menghadang jalan sang anak dengan tatapan penuh amarah yang ia tunjukkan secara terang-terangan pada anak bungsunya.

Lintang yang hendak mengucapkan kata salam, langsung berhenti ketika suara ben takkan sang Ibunda masuk dan menusuk indra pendengarannya.

“KENAPA KAMU BAWAH-BAWAH GENTALA KERUMAH BAJINGAN ITU HAH? MAKSUD KAMU APA DENGAN MEMBAWA DIA KESANA? SENGAJA BUAT BIKIN DIA MAKIN SAKIT HAH?”

Lintang tersentak saat secara tiba-tiba Indah mendorong tubuhnya kebelakang karna sudah kepalang emosi. Dorongan itu sukses membuat tubuh milik Lintang terdorong beberapa langkah.

“Aku udah suruh abang buat ngga ikut. Tap—” Lintang yang hendak menjelaskan, terpaksa harus berhenti karna lagi-lagi Indah memotong ucapannya.

“NGGA USAH BANYAK ALASAN! SEKARANG SAYA TANYA! MAU KAMU ITU SEBENARNYA APA HAH? PENGEN BIKIN GENTALA MATI? ITU YANG KAMU MAU?” Indah kembali berteriak keras tepat dihadapan wajah Lintang.

Lintang yang mendengar itu, menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tanda itu setuju dengan ucapan sang Bunda. Perlahan-lahan air matanya turun membasahi kedua pipi tirus miliknya. Lintang takut dengan nada bentakkan yang ditunjukkan Bunda untuknya.

“NGGA USAH NANGIS BODOH!” Tangan Indah dengan lancang menoyor kepala milik Lintang dengan kuat, hingga membuat kepala remaja itu terdorong kebelakang.

“M-maaf bunda. Aku ngga bakal nangis lagi.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Lintang dengan cepat segera mengusap air matanya yang terus turun dengan kasar.

Kini, Indah diam. Wanita paruh baya itu mati-matian menahan gejolak amarah yang mendekam dalam dirinya. Jika tidak mengingat Gentala, mungkin didetik ini juga dirinya sudah memukul Lintang habis-habisan.

“Abang kenapa bunda?” Walau takut, Lintang tetap mencoba untuk bertanya. Terlebih, dirinya juga sangat khawatir pada Gentala.

“Kenapa nanya? Apa peduli kamu sama Genta? Bukannya kamu bakalan seneng kalo dia menderita?” Sarkas Indah dengan kata-kata yang kian menusuk kedalam hati Lintang.

“Kenapa bunda ngomong gitu?” Balas Lintang dengan pandangan yang langsung menatap kearah manik hitam legam milik Indah.

“Dia sakit karna kamu, anak sialan!” Indah menekan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Abang kenapa bunda? Sakit abang kambuh?” Tanya Lintang kian khawatir.

“Diem kamu! Ngga usah sok peduli!” Indah mendorong Lintang kian menjauh dari hadapannya. “Tidur diluar! Ngga usah nginjakkin kaki kotor kamu dirumah saya!”

Setelah ucapan itu terlontar, pintu utama langsung ditutup dengan keras oleh Indah.

Lintang menundukkan pandangannya kala air matanya turun dengan deras tampa mau berhenti. Rasa sesak serta sakit memasuki rongga dadanya, hingga membuat dirinya sulit bernafas. Sesak. Sesak sekali rasanya.

Lintang memukul-mukul dadanya sendiri, mencoba untuk menghilangkan rasa sesaknya. Namun tak berhasil. Rasa sesak itu mala kian bertampa diiringi dengan suara tangis yang berusaha dirinya redam agar tidak terdengar.

Dengan langkah pelan, Lintang segera berjalan untuk pergi. Tujuannya satu, yaitu pergi ketempat dimana dirinya tenang.

Lintang berjalan dengan langkah pelan, masih diiringi oleh tangisan pilu. Hingga, langkahnya terhenti tepat dibawah pepohonan besar nan rindang.

HAPPINESS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang