7 • Di Balik Layar

8 2 2
                                    

Ditekannya klakson mobil berkali-kali di tengah kemacetan lalu lintas, antrean kendaraan di depannya sudah lebih panjang dari gerbong kereta, lima belas menit mobilnya tidak bergerak dari tempat ini.

Azhalya menggerutu kesal di dalam hatinya, ia membawa tasnya dan keluar dari mobil lalu berlari menelusuri jalanan, persetan dengan mobilnya yang mungkin akan hilang karena ditinggalkan di tengah jalan seperti itu.

"Mas ojek, ya?"

"Iya, Mbak."

"Anterin saya ke alamat ini, ya." Azhalnya memperlihatkan alamat yang dikirimkan Afkhar kepadanya.

Saat ia hendak naik ke motor, ia mengurungkan niatnya. "Saya aja deh yang nyetir, boleh ya? Saya buru-buru."

Beberapa lembar uang kertas ia berikan kepada ojek tersebut, tak lupa mengucapkan terima kasih dan meminta maaf setelah melihat wajah tukang ojek yang pucat, mungkin Azhalya mengendarai motornya terlalu cepat.

Pandangannya menyisir mencari sebuah objek dari kiri ke kanan, ia melakukannya dua kali untuk memastikan karena cukup banyak orang di depannya, tapi ternyata yang ia cari memang tidak ada di sana.

Tangannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone yang bergetar, dilihatnya nama Afkhar tertera di layar.

"Halo, Khar? Lo di mana?" Tanya Azhalya sambil celingukan dan menyadari bahwa ada beberapa Jurnalis lain yang tampaknya sedang menunggu di sana.

"Di kantor." Jawab Afkhar santai.

"Hah? Gimana?"

"Iya gue di kantor, emang di mana lagi?"

"Lo ngirim alamat ke gue itu apa maksudnya?"

"Karena ada wawancara di sana, ngga banyak loh yang dibolehin wawancara hari ini."

"Jadi lo dari pagi neleponin gue, marah-marah, nyuruh gue buru-buru dateng ke tempat ini buat wawancara sementara lo nyantai di kantor?!"

"Hehe."

"AFKHAR!" Teriaknya kesal membuat beberapa orang menoleh padanya.

Tut.

Azhalya menarik napasnya dalam-dalam lalu menghentakkan kakinya sambil menahan jeritannya. Sungguh biadab manusia bernama Afkhar itu, bisa-bisanya ia mematikan telepon sepihak.

Di tengah lamunan Azhalya dengan bermacam ide balas dendam kepada Afkhar, tiba-tiba seorang lelaki keluar dari sebuah ruangan bersama dengan beberapa orang di belakangnya, kerumunan langsung terbentuk menghadang jalan lelaki tersebut. Dia Javier, penyanyi pendatang baru yang fansnya sudah bejibun.

"Rifki, ada apaan ini?" Tanya Javier pada Managernya.

"Beberapa wartawan yang dipilih untuk wawancara eksklusif."

"Kenapa ngga bilang gue dulu? Emang gue udah setuju? Gue ngga mau wawancara." Ketusnya lalu berjalan menerobos kerumunan ke luar gedung.

Azhalya menganga dibuatnya. Sudah meninggalkan mobilnya di tengah jalan, naik motor ngebut-ngebut, dibuat kesal Afkhar, dan sekarang? Satu kata yang sangat ingin keluar dari mulut Azhalya saat itu "SIALAN!".

                        •EFLORESEN•

Pukul delapan malam Azhalya tiba di rumahnya, matanya memincing melihat mobil yang ia kenal terparkir di halaman rumahnya.

"Ma, aku pulang." Ucapnya, namun bukan jawaban ia dengar, melainkan suara mixer dari arah dapur.

Azhalya melangkah mendekati sumber suara, dari ruang keluarga ia dapat melihat Mamanya yang sedang membuat kue dibantu oleh Afkhar. Azhalya ikut tersenyum melihat raut wajah bahagia yang jelas tergambar di wajah Mamanya, tapi senyuman Azhalya berubah seketika mengingat apa yang Afkhar lakukan padanya hari ini.

Azhalya melangkah cepat mendekati Afkhar dan bersiap untuk memukulnya dengan tas. Tapi...

"Pffttt!" Azhalya memejamkan matanya saat tangan Afkhar melempar tepung ke wajahnya, sebenarnya Afkhar juga refleks karena melihat wajah seram Azhalya mendekat padanya, tapi refleksnya ini sungguh tidak bagus.

"AFKHAR!"

Jangan ditanya apa yang terjadi selanjutnya, sudah pasti tom and jerry itu berlarian ke seluruh rumah.

Setelah membersihkan tubuhnya yang penuh tepung, Azhalya duduk di tepi kasur lalu menghela napas panjang. Hari ini melelahkan. Ah, jika ada yang ingin tahu bagaimana kondisi mobilnya? Mobilnya baik-baik saja walaupun Azhalya terkena denda oleh Dishub.

Azhalya merebahkan tubuhnya, ia tiba-tiba memikirkan percakapannya dengan Afkhar setelah lelah berlarian tadi.

"Javier Aksa cuma ramah di depan layar? Bisa dijadiin berita ngga ya?" Tanya Afkhar setelah mendengar cerita Azhalya.

"Au amat."

"Tapi bukan itu tujuan gue. Eh, bukannya lo satu sekolah ya sama dia?" Tanya Afkhar dan diangguki oleh Azhalya.

"Terus lo ngga tau dia anak siapa?"

Azhalya terdiam, jika dipikir-pikir Javier memang tidak terbuka soal kehidupan pribadinya, atau mungkin karena mereka kurang dekat?

"James Danuarta, calon Perdana Menteri."

"Hah? Serius?"

Afkhar mengangguk, "ingat gue pernah minta lo ke kejaksaan dan cari tau pejabat yang akan dibawa ke sana? Itu James. Gue penasaran apa alasan dia dipanggil kejaksaan dan kenapa bisa bebas gitu aja tanpa tercium publik sedikitpun."

"Terus lo yakin Javier bakal buka mulut soal itu?"

"Mungkin. Setelah gue periksa latar belakangnya, kayanya dia ngga terlalu dekat sama bapaknya, bahkan katanya hubungan mereka kurang baik. Kita cuma butuh pertanyaan yang menjebak."

"Lo gila sih kalau kata gue, gue ngga ikutan ah."

Ia mengerti kenapa Afkhar ingin melakukan hal tersebut, tapi bukankah menyeramkan berurusan dengan orang yang memiliki kekuasaan?

Azhalya menggelengkan kepalanya sambil mengerjapkan matanya berkali-kali untuk mengembalikan kesadarannya.

"Lupain, Al! Ngga penting buat lo." Ucapnya pada diri sendiri.

Tapi jika dipikir-pikir, Javier yang ia lihat hari ini jauh berbeda dengan yang ia lihat saat SMA dulu, bukan wajah atau penampilannya, tapi sifatnya. Dulu Javier sangat baik, kalem, adem kaya ubin masjid. Tapi kenapa sekarang berubah? Rasanya Javier yang ia lihat hari ini tidak pernah dikenalnya.


                        _______________

Terima kasih buat yang udah baca, jangan lupa vote yaa

EFLORESENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang